PENGARUH ETIKA
BISNIS TERHADAP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) DI PT.TELEKOMUNIKASI INDONESIA
Disusun Oleh :
Irsandy Hafizh
3EA28
15214471
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Etika
Bisnis (juga dikenal sebagai etika korporasi) adalah suatu bentuk etika terapan
atau etika profesi yang mempelajari prinsip-prinsip etis dan moral atau
masalah-masalah etika yang muncul dalam lingkungan bisnis (sumber: Wikipedia).
Ini berlaku untuk semua aspek perilaku bisnis dan relevan dengan perilaku
individu dan organisasi bisnis secara keseluruhan. Etika Terapan adalah bidang
etika yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan etis dalam berbagai bidang
seperti medis, teknik, hukum dan etika bisnis. Etika bisnis dapat menjadi suatu
disiplin ilmu baik normatif maupun deskriptif. Sebagai praktik perusahaan dan
spesialisasi karir, bidang ini terutama normatif. Cakupan dan kuantitas etika
bisnis mencerminkan derajat yang usahanya dianggap bertentangan dengan nilai-nilai
sosial non-ekonomi. Sebagai contoh, hari ini situs perusahaan yang paling besar
memberikan tekanan pada komitmen untuk mempromosikan nilai-nilai sosial
non-ekonomi di bawah berbagai pos (misalnya kode etik, tanggung jawab sosial).
Dalam beberapa kasus, perusahaan harus merumuskan kembali nilai-nilai inti
mereka dalam terang pertimbangan etika bisnis.
Peranan
bisnis sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat, karena melalui kegiatan
bisnis suatu perusahaan akan dapat memenuhi setiap kebutuhan (needs) keinginan
(wants) dari masyarakat konsumen yang beraneka ragam, sehingga konsumen merasa
terpuaskan (customer satisfactions). Setiap perusahaan yang berkinerja baik dan
mampu memberikan layanan yang memuaskan konsumen maka dipastikan akan memperoleh
‘profit’ atau keuntungan dan usahanya akan terus berkembang dengan pesat.
Bisnis sangat penting dalam kehidupan, karena bisnis dapat membuat pendapatan
yang lebih tinggi dan meningkatkan taraf kehidupan serta kesejahteraan bagi
kita untuk menjadi lebih baik. Mungkin sebagian orang, bisnis merupakan
kebutuhan sekunder, karena bisnis merupakan pekerjaan sampingan yang
menguntungkan. Contohnya kita membuat toko online di salah satu situs website
misalnya facebook,twitter,berniaga.com ataupun toko bagus.com. Disisi lain
sebagian masyarakat menganggap bisnis adalah kebutuhan utama atau primer yang
wajib mereka miliki untuk menunjang kebutuhan secara langsung ataupun tidak
langsung. Salah satu contoh yaitu sebuah perusahaan bekerja sama dengan
perusahaan lain lalu mengadakan sebuah tender , jika salah satu perusahaan itu
memenangkan tender tersebut maka dialah yang akan mengerjakan pekerjaan yang
ditawarkan.
Bisnis
itu membantu kita untuk mencari pundi-pundi keuntungan. Dalam kehidupan, bisnis
dapat meningkatkan kesejahteraan pada diri sendiri ataupun orang disekeliling
kita. Namun Bisnis juga dapat merugikan bila kita tidak serius menggarapnya.
Perilaku etis dalam kegiatan berbisnis adalah sesuatu yang penting demi
kelangsungan hidup bisnis. Ketidaketisan dalam berbisnis akan merugikan bisnis
itu sendiri, terutama jika dilihat dari perspektif jangka panjang. Moral bisnis
yang baik adalah perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang dijunjung
tinggi dalam berbisnis.Dalam dunia bisnis pelaku bisnis akan selalu memiliki
hubungan dan kerja sama dengan semua pihak, baik didalam maupun diluar
perusahaan, menjaga agar hubungan tetap berjalan dengan baik, pelaku bisnis
harus memiliki etika yang baik karena etika dalam bisnis merupakan salah satu
faktor yang menentukan keberhasilan suatu usaha.
Pada
era globalisasi saat ini, perusahaan menghadapi tantangan yang berat dan
beragam. Persaingan yang ketat antara pelaku bisnis telah mendorong para
produsen untuk terus berkembang demi mempertahankan diri di pasar. Perusahaan
harus mampu memaksimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki agar dapat bersaing
secara sehat dengan perusahaan lain. Setiap perusahaan harus memastikan bahwa
asas Good Corporate Governance (GCG) diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di
semua jajaran perusahaan. Asas GCG yaitu transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi serta kesetaraan dan kewajaran diperlukan untuk
mencapai kinerja yang berkesinambungan dengan tetap memperhatikan pemangku
kepentingan. Peran dan tuntutan investor dan kreditor asing mengenai penerapan
prinsip GCG merupakan salah satu faktor dalam pengambilan keputusan
berinvestasi pada suatu perusahaan. Penerapan prinsip GCG dalam dunia usaha di
Indonesia merupakan tuntutan zaman agar perusahaan-perusahaan yang ada jangan
sampai terlindas oleh persaingan global yang semakin keras. Perusahaan publik
Indonesia diwajibkan untuk mematuhi dan memenuhi praktek tata kelola perusahaan
yang telah ditentukan.
Mengantisipasi
agar tidak kembali krisis seperti pada tahun 1997, pemerintah Indonesia
mewajibkan perusahaan di bawah status Kementerian Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) untuk mengimplementasikan GCG melalui keputusan Menteri Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) Nomor KEP-117/MMBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang
Penerapan Praktek GCG pada BUMN, yang dimaksud dengan corporate governance
dalam hubungannya dengan BUMN adalah suatu proses dan struktur yang digunakan
oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas
perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan
tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan
perundangan dan nilainilai etika. Pasal 2 (1) BUMN wajib menerapkan GCG secara
konsisten dan atau menjadikan GCG sebagai landasan operasionalnya (2) Penerapan
GCG pada BUMN dilaksanakan berdasar keputusan ini dengan tetap memperhatikan
ketentuan dan norma yang berlaku dan anggaran dasar BUMN. Pasal 3
prinsipprinsip GCG yang dimaksud dalam keputusan menteri meliputi (a)
Transparansi yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan
dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi material dan relevan mengenai
perusahaan, (b) Kemandirian yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola
secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak
manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
prinsip-prinsip perusahaan, (c) Akuntabilitas yaitu kejelasan fungsi,
pelaksanaan dan pertanggunganjawaban organisasi, sehingga pengelolaan
perusahaan terlaksana secara efektif, (d) Pertanggungjawaban yaitu kesesuaian
dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat dan (e) Kewajaran (fairness) yaitu
keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
TELKOM
menjalankan kebijakan bisnisnya dengan menerapkan budaya perusahaan yang
dikenal dengan The TELKOM Way (TTW) 135. TTW 135 menekankan sejumlah unsur yang
merupakan bagian tak terpisahkan dalam diri setiap karyawan, asumsi dasar,
nilai utama dan langkah perilaku. Asumsi dasar disebut Committed to You. Tiga
nilai utama mencakup (1) Nilai konsumen (Customer Value), (2) Pelayanan yang
unggul (Excellent Service) dan (3) Orangorang yang kompeten (Competen People).
Lima langkah perilaku: Memenangkan persaingan, (1) Menggapai tujuan (Stretch
The Goal), (2) Menyederhanakan (Simplify), (3) Melibatkan tiap orang (Involve
Everyone), (4) Kualitas dalam setiap pekerjaan (Quality is My Job) dan (5)
Penghargaan terhadap pemenang (Reward the Winner). TTW 135 diharapkan akan
menciptakan pengendalian kebudayaan yang efektif terhadap cara mempersepsi,
cara memandang, cara berpikir dan cara berperilaku seluruh karyawan TELKOM.
Budaya TTW 135 dilanjutkan untuk tetap dijalankan sebagai satu-satunya budaya
TELKOM (Telkom 2008). Berdasarkan uraian diatas maka penulisan ini bermaksud
untuk membahas tentang “PERAN ETIKA BISNIS TERHADAP GOOD CORPORATE GOVERNANCE
DI PT.TELEKOMUNIKASI INDONESIA”.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam hal ini berdasarkan
latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimanakah peran etika bisnis terhadap Good Corporate
Governance (GCG) di PT.Telekomunikasi Indonesia ?
2. Bagaimanakah pengaruh EVA, dan MVA di PT.Telekomunikasi Indonesia?
1.3 Tujuan
Penelitian
Tujuan dari penulisan ini
adalah sebagai berikut :
1. untuk
mengetahui peran etika bisnis terhadap Good Corporate Governance (GCG) di
PT.Telekomunikasi Indonesia
2. untuk
mengatahui pengaruh EVA, dan MVA di
PT.Telekomunikasi Indonesia
BAB II
TELAAH LITERATUR
2.1 Pengertian
Etika Bisis
Secara sederhana yang dimaksud
dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang
mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan individu, perusahaan,
industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita
menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak
tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika bisnis lebih luas dari
ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi
dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan
bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan
hukum.
Von der Embse dan R.A. Wagley dalam
artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988), memberikan tiga pendekatan
dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
- Utilitarian Approach :
setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu,
dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat
memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak
membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
- Individual Rights Approach :
setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus
dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari
apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang
lain.
- Justice Approach :
para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil
dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan
ataupun secara kelompok.
2.2
Pengertian Good Corporate Governance
Agoes (2009) menyebutkan beberapa definisi dari GCG
yang dapat dijadikan acuan adalah sebagai berikut :
1.
Cadbury
Committee of Kingdom A set of rules that define the relationship between
shareholder, managers, creditor, the government, employee, and other internal
and external stakeholder in respect to their right and responsibilities, or the
system by wich companies are directed and controlled yaitu seperangkat
peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola)
perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang
kepentingan internal dan ekternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban mereka; atau dengan kata lainnya suatu sistem yang mengarahkan dan
mengendalikan perusahaan.
2.
Forum
for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2006) tidak membuat definisi
tersendiri tetapi mengambil definisi dari Cadbury Committee of 21 Kingdom,
yaitu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,
pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta
para pemegang kepentingan internal dan ekternal lainnya yang berkaitan dengak
hak-hak dan kewajian mereka; atau dengan kata lainnya suatu sistem yang
mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.
3.
GCG
adalah tata kelola perusahaan yang baik dengan suatu sistem yang mengatur
hubungan peran Dewan Komisaris, peran Direksi, pemegang saham dan pemangku
kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai
suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaiannya
dan penilaian kinerjanya.
4.
Organization
for Economic Coorporation and Development–OECD (Tjager dkk, 2004),
mendifinisikan GCG sebagai: ”The structure through which shareholders,
directors, managers, set of the board objectives of the company, the means of
attaning those objectives and monitoring performance yaitu suatu struktur yang
terdiri atas para pemegang saham, direktur, manajer, seperangkat tujuan yang
ingin dicapai perusahaan, dan alat-alat yang akan digunakan dalam mencapai
tujuan dan memantau kinerja.
2.2.1 Prinsip dasar Good
Corporate Governance
Arafat (2007) menjelaskan bahwa Organization for
Economic Coorporation and Development (OECD) memberlakukan prinsip-prinsip GCG
untuk menciptakan lingkungan kondusif terhadap perlindungan sektor usaha yang
efisien berkisinambungan mencakup 5 bidang, yaitu:
1.
Perlindungan
terhadap hak-hak pemegang saham. Kerangka yang dibangun dalam GCG harus mampu
melindungi hak-hak para pemegang saham. Hak-hak tersebut meliputi hak dasar
pemegang saham yaitu untuk (a) menjamin keamanan metode pendaftaran
kepemilikan, (b) mengalihkan atau memindahkan saham yang dimilikinya, (c)
memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara berkala dan
teratur, (d) ikut berperan dan memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS), (e) memilih 23 anggota dewan komisaris dan direksi, (f) memperoleh
pembagian keuntungan perusahaan.
2.
Persamaan
perlakuan terhadap seluruh pemegang saham. Kerangka GCG harus menjamin adanya
perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham
minoritas dan asing. Seluruh pemegang saham harus memiliki kesempatan
mendapatkan penggantian atau perbaikan atas pelanggaran dari hak-hak mereka.
Prinsip ini juga mensyaratkan adanya perlakuan yang sama atas saham-saham yang
berada dalam satu kelas, melarang praktik-praktik insider trading dan self
dealing dan mengharuskan anggota dewan komisaris melakukan keterbukaan jika
menemukan transaksitransaksi yang mengandung benturan kepentingan (conflict of
interest).
3.
Pengaruh
stakeholders yang terkait dengan perusahaan. Kerangka GCG harus memberikan
pengakuan terhadap hak-hak stakeholders, seperti yang dintentukan undang-undang
dan mendorong kerjasama aktif antara perusahaaan dengan stakeholders dalam
rangka menciptakan kesejahteraan, lapangan kerja dan kesinambungan usaha.
4.
Keterbukaan
dan Transparansi. Kerangka GCG menjamin adanya pengungkapan yang tepat waktu
dan akurat untuk setiap permasalahan yang berkaitan dengan perusahaan.
Pengungkapan ini meliputi informasi mengenai keuangan, kinerja perusahaan,
kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Disamping itu informasi yang
diungkapkan harus disusun, diaudit dan disajikan sesuai dengan format standar
yang berkualitas tinggi. Manajemen diharuskan meminta auditor ekternal
melakukan audit yang bersifat independen atas laporan keuangan.
5.
Akuntabilitas
dewan komisaris. Kerangka GCG harus menjamin adanya pedoman strategi
perusahaan, pemantauan efektif terhadap manajemen yang dilakukan oleh dewan
komisaris dan akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang
saham. Prinsip ini juga memuat kewenangankewenangan yang harus dimiliki oleh
dewan komisaris beserta kewajiban profesionalnya kepada pemegang saham dan
stakeholders lainnya.
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Asas
Good Corporate Governance, setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG
diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Asas GCG
yaitu:
1.
Transparansi
(Transparency), untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan
harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah
diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil
inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh
peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan
keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
2.
Akuntabilitas
(Accountability), perusahaan harus dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya
secara transparan dan wajar. Perusahaan dikelola secara benar, terukur dan
sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan
pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat
yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3.
Responsibilitas
(Responsibility), perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta
melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat
terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan
sebagai good corporate citizen.
4.
Independensi
(Independency), untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus
dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling
mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5.
Kesetaraan
dan Kewajaran (Fairness), dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus
senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan
lainnya berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran
2.2.2 Manfaat Good Corporate
Governance
Arafat (2008), GCG memiliki arti penting dalam
menjalankan suatu organisasi bisnis. Berbagai sumber menyebutkan bahwa terdapat
sejumlah manfaat yang sangat besar ketika prinsip-prinsip GCG diterapkan dengan
baik didalam suatu perekonomian. Manfaat penerapan implementasi GCG pada
dasarnya dikelompokkan menjadi empat manfaat besar, yaitu:
1.
Meningkatkan
kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih
baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan
pelayanan kepada stakeholders. Perusahaan yang berhasil menerapkan GCG, maka akan
terciptalah citra sebagai sebuah perusahaan yang berhasil, yaitu meningkatkan
trust dan dalam rangka mewujudkan sustainable company.
2.
Meningkatkan
corporate value sebagaimana yang diungkapkan oleh Tjager et. al. (2003) bahwa
secara teoritik, praktik GCG dapat meningkatkan nilai (valuation) perusahaan
dengan meningkatkan kinerja keuangan mereka, mengurangi resiko yang mungkin
dilakukan oleh dewan dengan keputusankeputusan yang menguntungkan diri sendiri.
3.
Meningkatkan
kepercayaan investor. Sebagaimana diungkapkan oleh Newell dan Wilson (2002)
pada intinya bahwa praktik GCG yang dijalankan dengan baik dapat meningkatkan
kepercayaan investor dan sebaliknya penerapan GCG yang buruk akan menurunkan
tingkat kepercayaan mereka.
4.
Pemegang
saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan
meningkatkan shareholders value dan dividen dengan tujuan akhir yaitu
tercapainya stakeholder satisfaction yang meliputi task satisfaction dan
employee satisfaction.
Pendapat senada disampaikan oleh Agoes (2009), bahwa
penerapan konsep GCG merupakan salah satu upaya untuk memulihkan kepercayaan
para investor dan institusi terkait di pasar modal. Tujuan untuk meningkatkan
kinerja organisasi serta mencegah atau memperkecil praktek manipulasi dan
kesalahan signifikan dalam pengelolaan kegiatan organisasi. Tjager dkk (2003),
mengatakan bahwa paling tidak ada lima alasan mengapa penerapan GCG itu
bermanfaat, yaitu:
1.
Berdasarkan
yang telah dilakukan oleh McKinsey&Company menunjukkan bahwa para investor
internasional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan di Asia yang telah
menerapkan GCG.
2. Berdasarkan
berbagai analisa ternyata ada indikasi terkaitan antara terjadinya krisis
finansial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola
perusahaan.
3. Internasionalisasi
pasar termasuk liberalisasi pasar finansial dan pasar modal menuntut perusahaan
untuk menerapkan GCG.
4. Kalaupun
GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis, sistem ini dapat menjadi dasar
bagi berkembangnya sistem nilai baru yang lebioh sesuai dengan lanskap bisnis
yang kini telah banyak berubah.
5.
Secara
teoritis, praktek GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan
2.3 EVA (Economic Value Added)
EVA (Economic Value Added) adalah salah satu cara
untuk menilai kinerja keuangan. EVA merupakan indikator tentang adanya
pertambahan nilai dari suatu inverstasi. Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya
tentang EVA dengan definisi yang berbedabeda. Berikut adalah beberapa definisi
EVA menurut beberapa ahli:
1. EVA
adalah suatu tolak ukur yang menggambarkan jumlah absolute dari nilai pemegang
saham (Shareholder value) yang diciptakan (Created) atau dirusak (destroyed)
pada suatu periode tertentu, biasanya satu tahun (Tunggal, 2001)
2. EVA adalah alat ukur kinerja keuangan dengan
mengukur perbedaan antara pengembalian atas modal perusahaan dengan biaya
modal. (O’Byrne et al, 2001)
3. EVA
adalah laba di atas (melebihi) biaya kewajiban/hutang dan biaya modal (cost of
capital) perusahaan. Secara lebih rici didefinisikan sebagai laba usaha
dikurangi dengan pajak dan biaya bunga atas hutang serta dikurangi cadangan
biaya modal (Rahardjo, 2005).
Hal tersebut diatas serupa dengan pengukuran
keuntungan konvensional, tetapi dengan suatu perbedaan penting, EVA mengukur
biaya seluruh modal. Angka nilai bersih dalam Laporan Laba Rugi hanya
mempertimbangkan jenis biaya modal yang mudah dilihat bunga sementara
mengabaikan biaya ekuitas. Meskipun menaksir biaya ekuitas merupakan proses
subyektif, pengukuran kinerja yang mengabaikan biaya seperti itu tidak dapat
mengungkapkan bagaimana perusahaan yang sukses telah menciptakan nilai bagi
pemiliknya. Perbedaan lain antara EVA dengan keuntunga konvensional adalah EVA
tidak dipaksakan oleh prinsip akuntansi yang diterima umum (generally accepted
accounting principles/GAAP)
Langkah-langkah untuk menghitung EVA (Rokhayati,
2003) :
1.
Menghitung
NOPAT (Net Operating After Tax). Laba bersih sebelum pajak adalah laba operasi
perusahaan dari suatu current operating yang merupakan laba usaha setelah
dikurangi beban bunga. Pajak yang digunakan dalam perhitungan EVA adalah
pengorbanan yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam penciptaan nilai tersebut.
Rumus : NOPAT
= Laba usaha - Pajak
2.
Menghitung Invested Capital. Total hutang dan
ekuitas menunjukkan beberapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang
dijadikan jaminan utang. Pinjaman jangka pendek tanpa bunga merupakan pinjaman
yang digunakan perusahaan yang pelunasan maupun pembayarannya akan dilakukan
dalam jangka pendek (satu tahun sejak tanggal neraca) dengan menggunakan aktiva
lancar yang dimiliki perusahaan, dan atas pinjaman itu tidak dikenai bunga,
seperti hutang usaha, hutang pajak, dan lain-lain.
Rumus : Invested
capital = Total hutang & Ekuitas – hutang jk pendek
3.
Biaya Modal rata-rata tertimbang dengan
pendekatan weighted average Cost of capital (WACC)
Rumus : WACC = {D x rd (1 –Tax)} + (E x re)
Keterangan:
Tingkat Modal dari Hutang (D )
= Total Hutang / Total Hutang dan Ekuitas
Biaya
Hutang (rd) = Biaya
Bunga / Total Hutang Jk Panjang
Tingkat
Pajak (T) = Beban Pajak / Laba Sebelum Pajak
Tingkat
Modal dari Ekuitas (E) = Total Ekuitas / Total
Hutang dan Ekuitas
Biaya Ekuitas (re) = EAT / Total Ekuitas
Biaya Ekuitas (re) = EAT / Total Ekuitas
4.
Perhitungan
Capital Charges
Rumus : Capital
Charges = Invested capital x WACC
5.
Perhitungan
Economic Value Added (EVA)
Rumus : EVA =
NOPAT – Capital Charges
Kriteria EVA yang dipergunakan, yaitu pandangan
tentang Economic Value Added dari sudut investor pemilik modal atau pemilik
perusahaan:
a)
Jika
EVA > 0, maka telah terjadi penambahan nilai ekonomi ke dalam perusahaan,
sehingga perusahaan telah mampu memenuhi harapan penyandang dana.
b)
Jika
EVA < 0, menunjukkan tidak terjadinya proses nilai tambah pada perusahaan,
karena laba yang tersedia tidak dapat memenuhi harapan para penyandang dana.
2.4 MVA (Market Value Added)
Tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan
kesejahteraan pemegang saham yang dilakukan dengan memaksimalkan selisih antara
market value of equity dan jumlah modal yang ditanamkan investor kedalam
perusahaan. Selisih tersebut disebut sebagai Market Value Added (MVA). MVA
digunakan untuk mengukur seluruh pengaruh kinerja manajerial sejak perusahaan
berdiri hingga sekarang. MVA yang dihasilkan oleh kinerja manajerial sepanjang
umur perusahaan yang di-present value-kan (Mirza & Imbuh, 1999). MVA
diperoleh dengan mengalikan selisih antara harga pasar saham dan nilai buku
perlembar saham dengan jumlah saham yang dikeluarkan. Nilai pasar saham
perusahaan dicerminkan oleh harga saham yang tercantum pada akhir periode
selama tahun tersebut berlangsung (umumnya per 31 Desember). Nilai buku per
lembar saham diperoleh dengan membagi keuntungan perlembar saham atau earning per
share (EPS) dengan tingkat pengembalian atas modal sendiri atau return on
equity (ROE) atau dengan membagi total eqiuty denga jumlah lembar saham yang
beredar. Rasyid (2009) dalam Prakasa (2007) menyatakan Market Value Added (MVA)
adalah perbedaan antara modal yang ditanamkan di perusahaaan sepanjang waktu
dari investasi modal, pinjaman dan laba ditahan dan uang yang bisa diambil
sekarang, atau sama dengan selisih anatara nilai buku dan nilai pasar saham
plus obligasi. Market Value Added (MVA) digunakan untuk mengukur seluruh
pengaruh dari kinerja manajerial sejak perusahaan berdiri hingga sekarang.
Analisis ini didasarkan pada pemikiran kaum fundamentalis yang menyatakan bahwa
Value of Equity yang mewakili Value of the Firm yang ditentukan oleh faktor-faktor
fundamental perusahaan. Menurut Steward (Prakasa, 2007) menyakini dan
mempopulerkan Market Value Added (MVA) sebagai ukuran yang paling tepat untuk
menilai sukses tidaknya perusahaan dalam menciptakan kekayaan bagi permlik.
Jadi, kekayaan atau kesejahteraan pemilik perusahaan (pemegang saham) akan
bertambah bila Market Value Added (MVA) bertambah. Peningkatan Market Value
Added (MVA) dapat dilakukan dengan cara meningkatkan Economic Value Added (EVA)
yang merupakan pengukuran internal kinerja operasional tahunan, dengan demikian
Economic Value Added (EVA) mempunyai hubungan yang kuat dengan Market Value
Added (MVA).
MVA
= (Harga Saham x Jumlah Saham Beredar) -
Total Ekuitas
Kriteria
Market Value Added (MVA) adalah :
a)
MVA
yang positif (MVA > 0) menunjukkan pihak manajemen telah mampu meningkatkan
kekayaan pemegang saham
b)
MVA
yang negatif (MVA < 0 menunjukkan berkurangnya nilai modal pemegang saham.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Peran Etika Bisnis Terhadap Good Coorporate Governance di
TATA KELOLA PERUSAHAAN
·
Meyakini
kualitas penerapan praktik terbaik GCG akan terjaga dan teruji
Perseroan menjadikan tahun 2015 sebagai tahun budaya
penerapan prinsip dasar GCG. Dengan menjadikan prinsip-prinsip dasar GCG
sebagai budaya dalam menjalankan tugastugas operasional sehari-hari, kami
meyakini kualitas penerapan praktik terbaik GCG akan terjaga dan teruji.
Sehingga seluruh manfaat dari penerapan praktik terbaik GCG dapat kami rasakan,
terutama naiknya nilai perusahaan dan terpenuhinya harapan para pemangku
kepentingan
TUJUAN DAN KOMITMEN PENERAPAN
TATA KELOLA
·
TUJUAN
PENERAPAN TATA KELOLA PERUSA HAAN YAN G BAIK
Telkom menerapkan praktik terbaik tata kelola dengan
beberapa tujuan, meliputi:
Ø
Memaksimalkan
nilai perusahaan dan nilai untuk stakeholders.
Ø
Mendorong
pengelolaan perusahaan secara profesional, transparan dan efisien.
Ø
Memberdayakan
fungsi dan meningkatkan kemandirian Pemegang Saham, Dewan Komisaris, Direksi,
Komitekomite dan Sekretaris Perusahaan.
Ø
Memperhatikan
adanya tanggung jawab perusahaan terhadap kondisi sosial masyarakat dan
lingkungan sekitar.
Ø
Meningkatkan
kontribusi perusahaan dalam perekonomian nasional.
Ø
Meningkatkan
iklim investasi nasional.
·
KOMITMEN
Komitmen Perseroan dalam menerapkan GCG ditunjukkan
dengan keluarnya Surat Keputusan Direksi tentang Pedoman GCG No.29/2007 dan
Pedoman GCG Group No.602/2011. Keputusan Direksi tersebut memuat beberapa
sistem penerapan GCG untuk menjamin bahwa GCG telah diterapkan baik untuk
transaksi internal maupun eksternal yang beretika dan sesuai praktik tata kelola
perusahaan yang baik dan benar. Sistem penerapan GCG yang dimaksud meliputi:
etika bisnis, kebijakan dan prosedur, manajemen risiko, pengendalian dan
pengawasan internal, kepemimpinan, pengelolaan tugas dan tanggung jawab,
pemberdayaan manajemen dan kompetensi karyawan, evaluasi kinerja, serta
penghargaan dan pengakuan. Komitmen untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG pada
setiap jenjang operasional perusahaan secara terencana, terarah dan terukur
tersebut juga meliputi seluruh jajaran pengurus hingga ke level pelaksana
sehingga penerapan praktik terbaik GCG berlangsung konsisten.
·
KONSEP
DAN LANDASAN
Sebagai emiten yang tercatat dan diperdagangkan di
BEI dan NYSE, maka selain mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia, Pedoman Umum Good Corporate
Governance Indonesia yang dikeluarkan Komite Nasional
Kebijakan Governanceb (“KNKG”) dan Pedoman Tata Kelola Perusahaan Terbuka
dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Perseroan juga mematuhi Sarbanes Oxley
Act (“SOA”) tahun 2002 serta peraturan SEC lainnya dalam menerapkan GCG.
Setidaknya ada dua peraturan SOA yang relevan dengan Perseroan. Pertama, SOA
Section 404 yang menyatakan manajemen bertanggung jawab dalam pengendalian
internal terhadap pelaporan keuangan, Internal Control Over Financial
Reporting (“ICOFR”), untuk memastikan keandalan pelaporan keuangan dan
persiapan penerbitan laporan keuangan. Kedua, SOA Section 302 yang menghendaki
tanggung jawab dari manajemen terhadap pembuatan, pemeliharaan dan evaluasi
terhadap efektivitas prosedur untuk memastikan bahwa informasi dalam laporan
telah sesuai dengan ketentuan UU Pasar Modal AS. Perseroan dan seluruh group
usaha senantiasa berupaya mempertajam pelaksanaan GCG agar penerapannya selaras
dengan tuntutan bisnis dan perubahan industry mutakhir. Penguatan GCG Telkom
Group dibangun dan dikembangkan agar tercipta praktik bisnis yang beretika
(GCG as ethics) dan bermartabat, selain untuk menunjukkan bahwa Perseroan
telah dikelola secara lebih akuntabel, transparan dan bertanggung jawab,
sehingga dapat menumbuhkan rasa aman dan kepercayaan para investor maupun calon
investor agar terus mendukung pengembangan perusahaan. Dalam menerapkan praktik
terbaik tata kelola, Perseroan selalu berupaya agar selain mampu mengelola
risiko dengan baik, Perseroan juga mampu merespon berbagai perubahan yang
terjadi serta memanfaatkan perubahan tersebut menjadi sesuatu yang dapat
meningkatkan kapasitas dan nilai perusahaan sehingga mendukung pencapaian
tujuan dan keberlanjutan Perusahaan dalam jangka panjang.
Telkom telah menerapkan seluruh prinsip-prinsip
dasar GCG, dengan penjelasan sebagai berikut :
Prinsip
Transparansi
Telkom beserta entitas anak dikelola dengan keterbukaan
dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan menyediakan informasi
materiil dan relevan mengenai perusahaan. Perseroan menerapkan prinsip
Transparansi dengan menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu
kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Perseroan
mempublikasikan informasi keuangan melalui laporan keuangan secara berkala dan
teratur,laporan tahunan serta informasi material lainnya serta menyediakan
sarana bagi investor unutk mengakses informasi penting perusahaan dengan mudah.
Prinsip Akuntabilitas
Telkom beserta entitas anak dikelola dengan
kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggung jawaban pemegang saham, Dewan
Komisaris, Direksi, komite – komite, dan sekretaris perusahaan agar pengelolaan
perusahaan terlaksana secara efektif. Perseroan menerapkan prinsip
akuntabilitas dengan memastikan telah tersedianya piagam – piagam yang
diperlukan bagi masing – masing organ perusahaan utama, sehingga tercipta
mekanisme check and balances
kewenangandan peran dalam pengelolaan perusahaan. Perseroan melengkapi struktur
pengelolaan dengan fungsi –fungsi tertentu seperti : memiliki komisaris
independen dan audit internal yang efektif.
Prinsip Responsibilitas
Telkom beserta entitas anak dikelola dengan
memeatuhi ketentuan dan peraturan
perundang – undangan yang berlaku serta menerapkan prinsip – prinsip
korporasi yang sehat. Perseroan menerapkan prinsip responsibilitas dengan
memastikan bahwa Telkom senantiasa mematuhi seluruh ketentuan dan peraturan perundang
– undangan yang berlaku, mencakup : undang – undang/peraturan perpajakan,
persaingan yang sehat, hubungan industrial, kesehatan/keselamatankerja, standar
penggajian dan peraturan relevan lainnya. Perseroan bahkan memiliki fungsi VP Legal and Compliance yang secara struktural
bertugas untuk memastikan pemenuhan seluruh ketentuan perundangan dan peraturan
tersebut.
Prinsip Independensi
Telkom beserta entitas anak dikelola dengan
professional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh tekanan dari pihak manapun
yang tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku dan
prinsip – prinsip korporasi yang sehat. Perseroan menerapkan prinsip
independensi dengan mencantumkan secara tegas aturan – aturan/wewenang
pengambilan keputusan korporasi dalam Board
charter maupun anggaran dasar perusahaan. Selain itu, perseroan menerapkan
kebijakan tambahan seperti : Kebijakan Transaksi Benturan Kepentikan, Larangan
Pemberian dan Penerimaan Hadiah dan Donasi, Larangan Donasi Parpol, penerapan E-Procurement dalam proses pengadanaan
barang/jasa, dan beberapa kebijakan sejenis lainnya.
Prinsip Fairness
(Kesetaraan dan Kewajaran)
Telkom beserta entitas anak dikelola dengan keadilan
dan kesetaraan dalam memenuhi hak – hak stakeholder
yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang – undangan yang
berlaku. Perseroan menerapkan prinsip Fairness
dalam berbagai aspek oprasional, meliputi : penghormatan hak pemegang saham
minoritas, larangan insider trading, penerapan
manajemen kinerja berdasarkan balanced
scorecard, pemberlakuan lelang terbuka dalam pengadaan barang/jasa,
implementasi e-procurement.
3.2 Pengaruh EVA dan MVA di
PT.Telekomunikasi Indonesia
Economic Value Added (EVA)
Berikut
ini merupakan langkah-langkah perhitungan Economic Value Added (EVA) PT. Telekomunikasi
Indonesia Tbk dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 :
(1) Menghitung
Net Operating Profit After Tax (NOPAT). NOPAT adalah laba yang diperoleh dari
laba operasi perusahaan, dikurang dengan pajak. NOPAT menunjukan nilai yaitu
ditahun 2013 adalah 20.987 (dalam miliaran rupiah) pada tahun 2014 mengalami
kenaikan sebesar 4,19 % atau meningkat menjadi 21.867 (dalam miliaran rupiah)
peningkatan ini disebabkan karena terjadinya peningkatan pada EAT (Earning
After Tax ) dari 2013 sebesar 27.846 ke 2014 sebesar 4,88% atau naik menjadi
29.206 (dalam miliaran rupiah) dan pada komponen pajak ikut naik dari 6.859
(dalam miliaran rupiah) naik menjadi 7.339 (dalam miliaran rupiah) atau naik
sebesar 7 % ditahun 2014. Pada tahun 2015 NOPAT juga mengalami kenaikan sebesar
11,55 % yaitu dari 21.867 (dalam miliaran rupiah) menjadi 24.393 (dalam
miliaran rupiah) dari tahun 2014. Disisi lain pajak juga mengalami kenaikan dari tahun 2014 naik
dari 7.339 (dalam miliaran rupiah) menjadi 8.025 (dalam miliaran rupiah)
ditahun 2015 atau naik sebesar 9,35 %. Net Operating Profit After Tax sangat
mempengaruhi tingkat penciptaan nilai perusahaan, jika nilai NOPAT rendah
kemudian tingkat biaya modal lebih tinggi maka perusahaan tidak berhasil
menciptakan nilai tambah bagi perusahaan. Naik turunnya nilai NOPAT dipengaruhi
oleh Pajak dan Laba usaha, perusahaan harus lebih memperhatikan laba usaha jika
ingin membuat nilai tambah bagi perusahaan.
(2) Invested Capital. Berdasarkan perhitungan Invested
Capital dari tahun 2013- 2014 mengalami
kenaikan sebesar 10.04 % yaitu dari 99.514 (dalam miliaran rupiah) menjadi
109.504 (dalam miliaran rupiah) dan dari tahun 2014-2015 mengalami kenaikan
sebesar 19.41%.
(3) Biaya Modal Rata- rata tertimbang dengan
pendekatan Weighted Average cost of capital (WACC). Ditahun 2013 WACC diketahui
0,16 dan mengalami penurunan menjadi 0,15 ditahun 2014. Tetapi ditahun 2015
nilai WACC adalah 0,15 atau sama dengan WACC tahun 2014.
(4) Perhitungan
Capital Charges, Hasil perhitungan Capital Charges diperoleh dari hasil
perkalian antara modal yang diinvestasikan dengan WACC. Pada tahun 2013
diperoleh nilai sebesar 15.922.240.000.000 tahun 2014 diperoleh nilai 16.425.600.000.000
dan terakhir pada tahun 2015 diperoleh nilai sebesar 19.614.000.000.000.
(5) Perhitungan Economic Value Added, Dengan komponen
yang telah dihitung diatas maka kemudian dapat dihitung nilai EVA PT.Telekomunikasi
Indonesia Tbk yaitu dengan mengurangi NOPAT dengan Capital Charges. Penilaian
kinerja melalui metode EVA menghasilkan nilai EVA yang bervariasi. Hal ini
disebabkan oleh jumlah capital yang dimiliki tiap tahun. Nilai EVA positif pada
tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 tingkat pengembalian yang dihasilkan lebih besar
dari tingkat biaya yang dikeluarkan. atau besarnya laba bersih dan rendahnya
biaya modal. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan konsep EVA terlihat
bahwa nilai EVA akan positif apabila nilai NOPAT melebihi Capital Charges yang
berarti terjadi penciptaan nilai NOPAT lebih besar dan peningkatan capital
Capital Charges yang berarti terjadi peningkatan atau perbaikan nilai tambah, yang
terjadi di PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk semua NOPAT lebih dari nilai
Capital Charges Pada tahun 2013 manajemen berhasil menciptakan nilai EVA
positif sebesar Rp. 5.064.760.000.000 dengan nilai NOPAT Rp. 20.987.000.000.000
dan Capital Charges dengan nilai Rp. 15.922.240.000.000. Capital Charges
dipengaruhi oleh komponen WACC yaitu biaya modal atas ekuitas (Cost Of equity),
biaya modal atas hutang (cost of debt), Tingkat Modal dari Utang, tingkat
ekuitas, dan tingkat pajak (Tax). Pada 2014 terjadi EVA yang positif lebih
besar dari 2013 yaitu sebesar Rp.
5.441.400.000.000 dengan nilai NOPAT Rp. 21.867.000.000.000 dan Capital Charges
dengan nilai Rp. 16.425.600.000.000. Kemudian ditahun 2015 NOPAT mengalami
kenaikan dengan nilai NOPAT sebesar Rp. 24.393.000.000.000. dan Capital Charges
dengan nilai sebesar Rp. 19.614.000.000.000
maka didapat nilai EVA adalah Rp. 4.779.000.000.000. Maka diketahui bahwa
PT.Telekomunikasi Indonesia mengalami nilai tambah dari tahun 2013-2015. Manajemen
berhasil menciptakan nilai tambah bagi perusahaan, dan berhasil menciptakan
nilai bagi penyedia dana. Berarti manajemen bekerja sesuai dengan keinginan
pemegang saham.
Market
Value Added (MVA)
Pada tahun 2013, MVA yang dihasilkan PT.
Telekomunikasi Indonesia Tbk positif sebesar Rp. 131.342.835.240.000 . Hal ini
menandakan perusahaan berhasil memelihara kepercayaan investor atas modal yang
diberikan untuk meningkatkan nilai modal yang ditanamkan kepada
investornya. Pada tahun 2014, MVA yang
dihasilkan positif lebih besar dari tahun 2013 sebesar Rp. 195.351.820.564.000
dengan MVA yang lebih besar dari tahun sebelumnya perusahaan bisa menambah
kepercayaan investor. Begitu juga dengan tahun 2015 MVA semakin meningkat dari
tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp. 211.657.462.543.000. Maka diketahui
bahwa PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk telah mampu meningkatkan kekayaan
perusahaan dan para pemegang saham atau bisa dikatakan kinerja perusahaan
sehat, dan semakin tinggi nilai MVA, semakin baik pekerjaan yang telah
dilakukan manajemen bagi pemegang saham perusahaan.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Dalam penulisan ini dapat
disimpulkan bahwa pelaksanaan
GCG dilingkungan TELKOM telah berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah yang
berlaku. EVA yang dihasilkan perusahaan TELKOM berpengaruh positif terhadap
perusahaan karena berhasil menciptakan nilai tambah bagi perusahaan dan MVA
yang dihasilkan perusahaan TELKOM bernilai positif yang artinya kinerja
perusahaan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Gustina
2008, “Etika Bisnis Suatu Kajian Nilai Dan Moral Dalam Bisnis” Jurnal Ekonomi
Dan Bisnis Vol.3 No.2
Najmudin
2011, “STUDI TENTANG INTERVENSI ETIKA DAN PENINGKATAN MORAL MAHASISWA” Jurnal
Bisnis Ekonomi Vol.18 No.1
Sari Novita
Wulan , Tjahjanulin Domai, Stefanus
Panirengu, “PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI PT. TELKOM MALANG” Jurnal
Administrasi Publik , Vol. 2, No.4
Hanafi, Agustina & Leonita
Putri 2013, “PENGGUNAAN ECONOMIC VALUE ADDED (EVA) UNTUK MENGUKUR KINERJA DAN
PENENTUAN STRUKTUR MODAL OPTIMAL PADA PERUSAHAAN TELEKOMUNIKASI (GO PUBLIK)” Jurnal
Manajemen dan Bisnis Sriwijaya Vol.11 No.2