Rabu, 31 Mei 2017

PENGARUH ETIKA BISNIS TERHADAP GOOD CORPORATE GOVERNANCE (GCG) DI PT.TELEKOMUNIKASI INDONESIA



Disusun Oleh :
Irsandy Hafizh
3EA28
15214471



FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2017

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
           
Etika Bisnis (juga dikenal sebagai etika korporasi) adalah suatu bentuk etika terapan atau etika profesi yang mempelajari prinsip-prinsip etis dan moral atau masalah-masalah etika yang muncul dalam lingkungan bisnis (sumber: Wikipedia). Ini berlaku untuk semua aspek perilaku bisnis dan relevan dengan perilaku individu dan organisasi bisnis secara keseluruhan. Etika Terapan adalah bidang etika yang berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan etis dalam berbagai bidang seperti medis, teknik, hukum dan etika bisnis. Etika bisnis dapat menjadi suatu disiplin ilmu baik normatif maupun deskriptif. Sebagai praktik perusahaan dan spesialisasi karir, bidang ini terutama normatif. Cakupan dan kuantitas etika bisnis mencerminkan derajat yang usahanya dianggap bertentangan dengan nilai-nilai sosial non-ekonomi. Sebagai contoh, hari ini situs perusahaan yang paling besar memberikan tekanan pada komitmen untuk mempromosikan nilai-nilai sosial non-ekonomi di bawah berbagai pos (misalnya kode etik, tanggung jawab sosial). Dalam beberapa kasus, perusahaan harus merumuskan kembali nilai-nilai inti mereka dalam terang pertimbangan etika bisnis.
Peranan bisnis sangatlah penting dalam kehidupan masyarakat, karena melalui kegiatan bisnis suatu perusahaan akan dapat memenuhi setiap kebutuhan (needs) keinginan (wants) dari masyarakat konsumen yang beraneka ragam, sehingga konsumen merasa terpuaskan (customer satisfactions). Setiap perusahaan yang berkinerja baik dan mampu memberikan layanan yang memuaskan konsumen maka dipastikan akan memperoleh ‘profit’ atau keuntungan dan usahanya akan terus berkembang dengan pesat. Bisnis sangat penting dalam kehidupan, karena bisnis dapat membuat pendapatan yang lebih tinggi dan meningkatkan taraf kehidupan serta kesejahteraan bagi kita untuk menjadi lebih baik. Mungkin sebagian orang,  bisnis merupakan kebutuhan sekunder, karena bisnis merupakan pekerjaan sampingan yang menguntungkan. Contohnya kita membuat toko online di salah satu situs website misalnya facebook,twitter,berniaga.com ataupun toko bagus.com. Disisi lain sebagian masyarakat menganggap bisnis adalah kebutuhan utama atau primer yang wajib mereka miliki untuk menunjang kebutuhan secara langsung ataupun tidak langsung. Salah satu contoh yaitu sebuah perusahaan bekerja sama dengan perusahaan lain lalu mengadakan sebuah tender , jika salah satu perusahaan itu memenangkan tender tersebut maka dialah yang akan mengerjakan pekerjaan yang ditawarkan.
Bisnis itu membantu kita untuk mencari pundi-pundi keuntungan. Dalam kehidupan, bisnis dapat meningkatkan kesejahteraan pada diri sendiri ataupun orang disekeliling kita. Namun Bisnis juga dapat merugikan bila kita tidak serius menggarapnya. Perilaku etis dalam kegiatan berbisnis adalah sesuatu yang penting demi kelangsungan hidup bisnis. Ketidaketisan dalam berbisnis akan merugikan bisnis itu sendiri, terutama jika dilihat dari perspektif jangka panjang. Moral bisnis yang baik adalah perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi dalam berbisnis.Dalam dunia bisnis pelaku bisnis akan selalu memiliki hubungan dan kerja sama dengan semua pihak, baik didalam maupun diluar perusahaan, menjaga agar hubungan tetap berjalan dengan baik, pelaku bisnis harus memiliki etika yang baik karena etika dalam bisnis merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan suatu usaha.
Pada era globalisasi saat ini, perusahaan menghadapi tantangan yang berat dan beragam. Persaingan yang ketat antara pelaku bisnis telah mendorong para produsen untuk terus berkembang demi mempertahankan diri di pasar. Perusahaan harus mampu memaksimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki agar dapat bersaing secara sehat dengan perusahaan lain. Setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas Good Corporate Governance (GCG) diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Asas GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kesetaraan dan kewajaran diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan. Peran dan tuntutan investor dan kreditor asing mengenai penerapan prinsip GCG merupakan salah satu faktor dalam pengambilan keputusan berinvestasi pada suatu perusahaan. Penerapan prinsip GCG dalam dunia usaha di Indonesia merupakan tuntutan zaman agar perusahaan-perusahaan yang ada jangan sampai terlindas oleh persaingan global yang semakin keras. Perusahaan publik Indonesia diwajibkan untuk mematuhi dan memenuhi praktek tata kelola perusahaan yang telah ditentukan.
Mengantisipasi agar tidak kembali krisis seperti pada tahun 1997, pemerintah Indonesia mewajibkan perusahaan di bawah status Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengimplementasikan GCG melalui keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor KEP-117/MMBU/2002 tanggal 31 Juli 2002 tentang Penerapan Praktek GCG pada BUMN, yang dimaksud dengan corporate governance dalam hubungannya dengan BUMN adalah suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilainilai etika. Pasal 2 (1) BUMN wajib menerapkan GCG secara konsisten dan atau menjadikan GCG sebagai landasan operasionalnya (2) Penerapan GCG pada BUMN dilaksanakan berdasar keputusan ini dengan tetap memperhatikan ketentuan dan norma yang berlaku dan anggaran dasar BUMN. Pasal 3 prinsipprinsip GCG yang dimaksud dalam keputusan menteri meliputi (a) Transparansi yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi material dan relevan mengenai perusahaan, (b) Kemandirian yaitu suatu keadaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip perusahaan, (c) Akuntabilitas yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggunganjawaban organisasi, sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif, (d) Pertanggungjawaban yaitu kesesuaian dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat dan (e) Kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
TELKOM menjalankan kebijakan bisnisnya dengan menerapkan budaya perusahaan yang dikenal dengan The TELKOM Way (TTW) 135. TTW 135 menekankan sejumlah unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dalam diri setiap karyawan, asumsi dasar, nilai utama dan langkah perilaku. Asumsi dasar disebut Committed to You. Tiga nilai utama mencakup (1) Nilai konsumen (Customer Value), (2) Pelayanan yang unggul (Excellent Service) dan (3) Orangorang yang kompeten (Competen People). Lima langkah perilaku: Memenangkan persaingan, (1) Menggapai tujuan (Stretch The Goal), (2) Menyederhanakan (Simplify), (3) Melibatkan tiap orang (Involve Everyone), (4) Kualitas dalam setiap pekerjaan (Quality is My Job) dan (5) Penghargaan terhadap pemenang (Reward the Winner). TTW 135 diharapkan akan menciptakan pengendalian kebudayaan yang efektif terhadap cara mempersepsi, cara memandang, cara berpikir dan cara berperilaku seluruh karyawan TELKOM. Budaya TTW 135 dilanjutkan untuk tetap dijalankan sebagai satu-satunya budaya TELKOM (Telkom 2008). Berdasarkan uraian diatas maka penulisan ini bermaksud untuk membahas tentang “PERAN ETIKA BISNIS TERHADAP GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI PT.TELEKOMUNIKASI INDONESIA”.

1.2 Rumusan Masalah
Dalam hal ini berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah peran etika bisnis terhadap Good Corporate Governance (GCG) di PT.Telekomunikasi Indonesia ?
2.      Bagaimanakah pengaruh EVA, dan MVA  di PT.Telekomunikasi Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.  untuk mengetahui peran etika bisnis terhadap Good Corporate Governance (GCG) di PT.Telekomunikasi Indonesia
2.      untuk mengatahui pengaruh EVA,  dan MVA di PT.Telekomunikasi Indonesia

BAB II
 TELAAH LITERATUR

2.1 Pengertian Etika Bisis
Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan  individu,  perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan tidak tergantung pada kedudukan individu ataupun perusahaan di masyarakat.
Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan  bisnis seringkali kita temukan wilayah abu-abu yang tidak diatur oleh ketentuan hukum.
Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988), memberikan tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika bisnis, yaitu :
  • Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensinya. Oleh karena itu, dalam bertindak seseorang seharusnya mengikuti cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya.
  • Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuannya memiliki hak dasar yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan menyebabkan terjadi benturan dengan hak orang lain.
  • Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.

2.2 Pengertian Good Corporate Governance
Agoes (2009) menyebutkan beberapa definisi dari GCG yang dapat dijadikan acuan adalah sebagai berikut :
1.      Cadbury Committee of Kingdom A set of rules that define the relationship between shareholder, managers, creditor, the government, employee, and other internal and external stakeholder in respect to their right and responsibilities, or the system by wich companies are directed and controlled yaitu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan ekternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka; atau dengan kata lainnya suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.
2.      Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2006) tidak membuat definisi tersendiri tetapi mengambil definisi dari Cadbury Committee of 21 Kingdom, yaitu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan ekternal lainnya yang berkaitan dengak hak-hak dan kewajian mereka; atau dengan kata lainnya suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.
3.      GCG adalah tata kelola perusahaan yang baik dengan suatu sistem yang mengatur hubungan peran Dewan Komisaris, peran Direksi, pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaiannya dan penilaian kinerjanya.
4.      Organization for Economic Coorporation and Development–OECD (Tjager dkk, 2004), mendifinisikan GCG sebagai: ”The structure through which shareholders, directors, managers, set of the board objectives of the company, the means of attaning those objectives and monitoring performance yaitu suatu struktur yang terdiri atas para pemegang saham, direktur, manajer, seperangkat tujuan yang ingin dicapai perusahaan, dan alat-alat yang akan digunakan dalam mencapai tujuan dan memantau kinerja.

2.2.1 Prinsip dasar Good Corporate Governance
Arafat (2007) menjelaskan bahwa Organization for Economic Coorporation and Development (OECD) memberlakukan prinsip-prinsip GCG untuk menciptakan lingkungan kondusif terhadap perlindungan sektor usaha yang efisien berkisinambungan mencakup 5 bidang, yaitu:
1.      Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham. Kerangka yang dibangun dalam GCG harus mampu melindungi hak-hak para pemegang saham. Hak-hak tersebut meliputi hak dasar pemegang saham yaitu untuk (a) menjamin keamanan metode pendaftaran kepemilikan, (b) mengalihkan atau memindahkan saham yang dimilikinya, (c) memperoleh informasi yang relevan tentang perusahaan secara berkala dan teratur, (d) ikut berperan dan memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), (e) memilih 23 anggota dewan komisaris dan direksi, (f) memperoleh pembagian keuntungan perusahaan.
2.      Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham. Kerangka GCG harus menjamin adanya perlakuan yang sama terhadap seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan asing. Seluruh pemegang saham harus memiliki kesempatan mendapatkan penggantian atau perbaikan atas pelanggaran dari hak-hak mereka. Prinsip ini juga mensyaratkan adanya perlakuan yang sama atas saham-saham yang berada dalam satu kelas, melarang praktik-praktik insider trading dan self dealing dan mengharuskan anggota dewan komisaris melakukan keterbukaan jika menemukan transaksitransaksi yang mengandung benturan kepentingan (conflict of interest).
3.      Pengaruh stakeholders yang terkait dengan perusahaan. Kerangka GCG harus memberikan pengakuan terhadap hak-hak stakeholders, seperti yang dintentukan undang-undang dan mendorong kerjasama aktif antara perusahaaan dengan stakeholders dalam rangka menciptakan kesejahteraan, lapangan kerja dan kesinambungan usaha.
4.      Keterbukaan dan Transparansi. Kerangka GCG menjamin adanya pengungkapan yang tepat waktu dan akurat untuk setiap permasalahan yang berkaitan dengan perusahaan. Pengungkapan ini meliputi informasi mengenai keuangan, kinerja perusahaan, kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Disamping itu informasi yang diungkapkan harus disusun, diaudit dan disajikan sesuai dengan format standar yang berkualitas tinggi. Manajemen diharuskan meminta auditor ekternal melakukan audit yang bersifat independen atas laporan keuangan.
5.      Akuntabilitas dewan komisaris. Kerangka GCG harus menjamin adanya pedoman strategi perusahaan, pemantauan efektif terhadap manajemen yang dilakukan oleh dewan komisaris dan akuntabilitas dewan komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham. Prinsip ini juga memuat kewenangankewenangan yang harus dimiliki oleh dewan komisaris beserta kewajiban profesionalnya kepada pemegang saham dan stakeholders lainnya.
Menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Asas Good Corporate Governance, setiap perusahaan harus memastikan bahwa asas GCG diterapkan pada setiap aspek bisnis dan di semua jajaran perusahaan. Asas GCG yaitu:
1.      Transparansi (Transparency), untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perusahaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.
2.      Akuntabilitas (Accountability), perusahaan harus dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Perusahaan dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain. Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan.
3.      Responsibilitas (Responsibility), perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.
4.      Independensi (Independency), untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.
5.      Kesetaraan dan Kewajaran (Fairness), dalam melaksanakan kegiatannya, perusahaan harus senantiasa memperhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran
2.2.2 Manfaat Good Corporate Governance
Arafat (2008), GCG memiliki arti penting dalam menjalankan suatu organisasi bisnis. Berbagai sumber menyebutkan bahwa terdapat sejumlah manfaat yang sangat besar ketika prinsip-prinsip GCG diterapkan dengan baik didalam suatu perekonomian. Manfaat penerapan implementasi GCG pada dasarnya dikelompokkan menjadi empat manfaat besar, yaitu:
1.      Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholders. Perusahaan yang berhasil menerapkan GCG, maka akan terciptalah citra sebagai sebuah perusahaan yang berhasil, yaitu meningkatkan trust dan dalam rangka mewujudkan sustainable company.
2.      Meningkatkan corporate value sebagaimana yang diungkapkan oleh Tjager et. al. (2003) bahwa secara teoritik, praktik GCG dapat meningkatkan nilai (valuation) perusahaan dengan meningkatkan kinerja keuangan mereka, mengurangi resiko yang mungkin dilakukan oleh dewan dengan keputusankeputusan yang menguntungkan diri sendiri.
3.      Meningkatkan kepercayaan investor. Sebagaimana diungkapkan oleh Newell dan Wilson (2002) pada intinya bahwa praktik GCG yang dijalankan dengan baik dapat meningkatkan kepercayaan investor dan sebaliknya penerapan GCG yang buruk akan menurunkan tingkat kepercayaan mereka.
4.      Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan dividen dengan tujuan akhir yaitu tercapainya stakeholder satisfaction yang meliputi task satisfaction dan employee satisfaction.
Pendapat senada disampaikan oleh Agoes (2009), bahwa penerapan konsep GCG merupakan salah satu upaya untuk memulihkan kepercayaan para investor dan institusi terkait di pasar modal. Tujuan untuk meningkatkan kinerja organisasi serta mencegah atau memperkecil praktek manipulasi dan kesalahan signifikan dalam pengelolaan kegiatan organisasi. Tjager dkk (2003), mengatakan bahwa paling tidak ada lima alasan mengapa penerapan GCG itu bermanfaat, yaitu:
1.      Berdasarkan yang telah dilakukan oleh McKinsey&Company menunjukkan bahwa para investor internasional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan di Asia yang telah menerapkan GCG.
2.     Berdasarkan berbagai analisa ternyata ada indikasi terkaitan antara terjadinya krisis finansial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola perusahaan.
3.  Internasionalisasi pasar termasuk liberalisasi pasar finansial dan pasar modal menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG.
4.  Kalaupun GCG bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis, sistem ini dapat menjadi dasar bagi berkembangnya sistem nilai baru yang lebioh sesuai dengan lanskap bisnis yang kini telah banyak berubah.
5.      Secara teoritis, praktek GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan
2.3 EVA (Economic Value Added)
EVA (Economic Value Added) adalah salah satu cara untuk menilai kinerja keuangan. EVA merupakan indikator tentang adanya pertambahan nilai dari suatu inverstasi. Beberapa ahli mengemukakan pendapatnya tentang EVA dengan definisi yang berbedabeda. Berikut adalah beberapa definisi EVA menurut beberapa ahli:
1.  EVA adalah suatu tolak ukur yang menggambarkan jumlah absolute dari nilai pemegang saham (Shareholder value) yang diciptakan (Created) atau dirusak (destroyed) pada suatu periode tertentu, biasanya satu tahun (Tunggal, 2001)
2. EVA adalah alat ukur kinerja keuangan dengan mengukur perbedaan antara pengembalian atas modal perusahaan dengan biaya modal. (O’Byrne et al, 2001)
3.     EVA adalah laba di atas (melebihi) biaya kewajiban/hutang dan biaya modal (cost of capital) perusahaan. Secara lebih rici didefinisikan sebagai laba usaha dikurangi dengan pajak dan biaya bunga atas hutang serta dikurangi cadangan biaya modal (Rahardjo, 2005).
Hal tersebut diatas serupa dengan pengukuran keuntungan konvensional, tetapi dengan suatu perbedaan penting, EVA mengukur biaya seluruh modal. Angka nilai bersih dalam Laporan Laba Rugi hanya mempertimbangkan jenis biaya modal yang mudah dilihat bunga sementara mengabaikan biaya ekuitas. Meskipun menaksir biaya ekuitas merupakan proses subyektif, pengukuran kinerja yang mengabaikan biaya seperti itu tidak dapat mengungkapkan bagaimana perusahaan yang sukses telah menciptakan nilai bagi pemiliknya. Perbedaan lain antara EVA dengan keuntunga konvensional adalah EVA tidak dipaksakan oleh prinsip akuntansi yang diterima umum (generally accepted accounting principles/GAAP)
Langkah-langkah untuk menghitung EVA (Rokhayati, 2003) :
1.      Menghitung NOPAT (Net Operating After Tax). Laba bersih sebelum pajak adalah laba operasi perusahaan dari suatu current operating yang merupakan laba usaha setelah dikurangi beban bunga. Pajak yang digunakan dalam perhitungan EVA adalah pengorbanan yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam penciptaan nilai tersebut.
Rumus : NOPAT = Laba usaha - Pajak
2.       Menghitung Invested Capital. Total hutang dan ekuitas menunjukkan beberapa bagian dari setiap rupiah modal sendiri yang dijadikan jaminan utang. Pinjaman jangka pendek tanpa bunga merupakan pinjaman yang digunakan perusahaan yang pelunasan maupun pembayarannya akan dilakukan dalam jangka pendek (satu tahun sejak tanggal neraca) dengan menggunakan aktiva lancar yang dimiliki perusahaan, dan atas pinjaman itu tidak dikenai bunga, seperti hutang usaha, hutang pajak, dan lain-lain.
Rumus : Invested capital = Total hutang & Ekuitas – hutang jk pendek
3.       Biaya Modal rata-rata tertimbang dengan pendekatan weighted average Cost of capital (WACC)
Rumus : WACC = {D x rd (1 –Tax)} + (E x re)
Keterangan:
 Tingkat Modal dari Hutang (D ) = Total Hutang / Total Hutang dan Ekuitas
 Biaya Hutang (rd) =   Biaya Bunga / Total Hutang Jk Panjang
 Tingkat Pajak (T) =   Beban Pajak / Laba Sebelum Pajak
 Tingkat Modal dari Ekuitas (E) =  Total Ekuitas / Total Hutang dan Ekuitas
              
Biaya Ekuitas (re) = EAT / Total Ekuitas 


4.      Perhitungan Capital Charges
Rumus : Capital Charges = Invested capital x WACC
5.      Perhitungan Economic Value Added (EVA)
Rumus : EVA = NOPAT – Capital Charges

Kriteria EVA yang dipergunakan, yaitu pandangan tentang Economic Value Added dari sudut investor pemilik modal atau pemilik perusahaan:
a)      Jika EVA > 0, maka telah terjadi penambahan nilai ekonomi ke dalam perusahaan, sehingga perusahaan telah mampu memenuhi harapan penyandang dana.
b)      Jika EVA < 0, menunjukkan tidak terjadinya proses nilai tambah pada perusahaan, karena laba yang tersedia tidak dapat memenuhi harapan para penyandang dana.

      2.4 MVA (Market Value Added)
Tujuan utama perusahaan adalah memaksimalkan kesejahteraan pemegang saham yang dilakukan dengan memaksimalkan selisih antara market value of equity dan jumlah modal yang ditanamkan investor kedalam perusahaan. Selisih tersebut disebut sebagai Market Value Added (MVA). MVA digunakan untuk mengukur seluruh pengaruh kinerja manajerial sejak perusahaan berdiri hingga sekarang. MVA yang dihasilkan oleh kinerja manajerial sepanjang umur perusahaan yang di-present value-kan (Mirza & Imbuh, 1999). MVA diperoleh dengan mengalikan selisih antara harga pasar saham dan nilai buku perlembar saham dengan jumlah saham yang dikeluarkan. Nilai pasar saham perusahaan dicerminkan oleh harga saham yang tercantum pada akhir periode selama tahun tersebut berlangsung (umumnya per 31 Desember). Nilai buku per lembar saham diperoleh dengan membagi keuntungan perlembar saham atau earning per share (EPS) dengan tingkat pengembalian atas modal sendiri atau return on equity (ROE) atau dengan membagi total eqiuty denga jumlah lembar saham yang beredar. Rasyid (2009) dalam Prakasa (2007) menyatakan Market Value Added (MVA) adalah perbedaan antara modal yang ditanamkan di perusahaaan sepanjang waktu dari investasi modal, pinjaman dan laba ditahan dan uang yang bisa diambil sekarang, atau sama dengan selisih anatara nilai buku dan nilai pasar saham plus obligasi. Market Value Added (MVA) digunakan untuk mengukur seluruh pengaruh dari kinerja manajerial sejak perusahaan berdiri hingga sekarang. Analisis ini didasarkan pada pemikiran kaum fundamentalis yang menyatakan bahwa Value of Equity yang mewakili Value of the Firm yang ditentukan oleh faktor-faktor fundamental perusahaan. Menurut Steward (Prakasa, 2007) menyakini dan mempopulerkan Market Value Added (MVA) sebagai ukuran yang paling tepat untuk menilai sukses tidaknya perusahaan dalam menciptakan kekayaan bagi permlik. Jadi, kekayaan atau kesejahteraan pemilik perusahaan (pemegang saham) akan bertambah bila Market Value Added (MVA) bertambah. Peningkatan Market Value Added (MVA) dapat dilakukan dengan cara meningkatkan Economic Value Added (EVA) yang merupakan pengukuran internal kinerja operasional tahunan, dengan demikian Economic Value Added (EVA) mempunyai hubungan yang kuat dengan Market Value Added (MVA).
MVA = (Harga Saham x Jumlah Saham Beredar)  - Total Ekuitas
Kriteria Market Value Added (MVA) adalah :
a)      MVA yang positif (MVA > 0) menunjukkan pihak manajemen telah mampu meningkatkan kekayaan pemegang saham
b)      MVA yang negatif (MVA < 0 menunjukkan berkurangnya nilai modal pemegang saham. 

BAB III
 PEMBAHASAN

3.1 Peran Etika Bisnis Terhadap Good Coorporate Governance di
 TATA KELOLA PERUSAHAAN
·         Meyakini kualitas penerapan praktik terbaik GCG akan terjaga dan teruji
Perseroan menjadikan tahun 2015 sebagai tahun budaya penerapan prinsip dasar GCG. Dengan menjadikan prinsip-prinsip dasar GCG sebagai budaya dalam menjalankan tugastugas operasional sehari-hari, kami meyakini kualitas penerapan praktik terbaik GCG akan terjaga dan teruji. Sehingga seluruh manfaat dari penerapan praktik terbaik GCG dapat kami rasakan, terutama naiknya nilai perusahaan dan terpenuhinya harapan para pemangku kepentingan
TUJUAN DAN KOMITMEN PENERAPAN TATA KELOLA
·         TUJUAN PENERAPAN TATA KELOLA PERUSA HAAN YAN G BAIK
Telkom menerapkan praktik terbaik tata kelola dengan beberapa tujuan, meliputi:
Ø  Memaksimalkan nilai perusahaan dan nilai untuk stakeholders.
Ø  Mendorong pengelolaan perusahaan secara profesional, transparan dan efisien.
Ø  Memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian Pemegang Saham, Dewan Komisaris, Direksi, Komitekomite dan Sekretaris Perusahaan.
Ø  Memperhatikan adanya tanggung jawab perusahaan terhadap kondisi sosial masyarakat dan lingkungan sekitar.
Ø  Meningkatkan kontribusi perusahaan dalam perekonomian nasional.
Ø  Meningkatkan iklim investasi nasional.
·         KOMITMEN
Komitmen Perseroan dalam menerapkan GCG ditunjukkan dengan keluarnya Surat Keputusan Direksi tentang Pedoman GCG No.29/2007 dan Pedoman GCG Group No.602/2011. Keputusan Direksi tersebut memuat beberapa sistem penerapan GCG untuk menjamin bahwa GCG telah diterapkan baik untuk transaksi internal maupun eksternal yang beretika dan sesuai praktik tata kelola perusahaan yang baik dan benar. Sistem penerapan GCG yang dimaksud meliputi: etika bisnis, kebijakan dan prosedur, manajemen risiko, pengendalian dan pengawasan internal, kepemimpinan, pengelolaan tugas dan tanggung jawab, pemberdayaan manajemen dan kompetensi karyawan, evaluasi kinerja, serta penghargaan dan pengakuan. Komitmen untuk menerapkan prinsip-prinsip GCG pada setiap jenjang operasional perusahaan secara terencana, terarah dan terukur tersebut juga meliputi seluruh jajaran pengurus hingga ke level pelaksana sehingga penerapan praktik terbaik GCG berlangsung konsisten.

·         KONSEP DAN LANDASAN
Sebagai emiten yang tercatat dan diperdagangkan di BEI dan NYSE, maka selain mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia yang dikeluarkan Komite Nasional Kebijakan Governanceb (“KNKG”) dan Pedoman Tata Kelola Perusahaan Terbuka dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Perseroan juga mematuhi Sarbanes Oxley Act (“SOA”) tahun 2002 serta peraturan SEC lainnya dalam menerapkan GCG. Setidaknya ada dua peraturan SOA yang relevan dengan Perseroan. Pertama, SOA Section 404 yang menyatakan manajemen bertanggung jawab dalam pengendalian internal terhadap pelaporan keuangan, Internal Control Over Financial Reporting (“ICOFR”), untuk memastikan keandalan pelaporan keuangan dan persiapan penerbitan laporan keuangan. Kedua, SOA Section 302 yang menghendaki tanggung jawab dari manajemen terhadap pembuatan, pemeliharaan dan evaluasi terhadap efektivitas prosedur untuk memastikan bahwa informasi dalam laporan telah sesuai dengan ketentuan UU Pasar Modal AS. Perseroan dan seluruh group usaha senantiasa berupaya mempertajam pelaksanaan GCG agar penerapannya selaras dengan tuntutan bisnis dan perubahan industry mutakhir. Penguatan GCG Telkom Group dibangun dan dikembangkan agar tercipta praktik bisnis yang beretika (GCG as ethics) dan bermartabat, selain untuk menunjukkan bahwa Perseroan telah dikelola secara lebih akuntabel, transparan dan bertanggung jawab, sehingga dapat menumbuhkan rasa aman dan kepercayaan para investor maupun calon investor agar terus mendukung pengembangan perusahaan. Dalam menerapkan praktik terbaik tata kelola, Perseroan selalu berupaya agar selain mampu mengelola risiko dengan baik, Perseroan juga mampu merespon berbagai perubahan yang terjadi serta memanfaatkan perubahan tersebut menjadi sesuatu yang dapat meningkatkan kapasitas dan nilai perusahaan sehingga mendukung pencapaian tujuan dan keberlanjutan Perusahaan dalam jangka panjang.
Telkom telah menerapkan seluruh prinsip-prinsip dasar GCG, dengan penjelasan sebagai berikut :
Prinsip Transparansi
Telkom beserta entitas anak dikelola dengan keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan menyediakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan. Perseroan menerapkan prinsip Transparansi dengan menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Perseroan mempublikasikan informasi keuangan melalui laporan keuangan secara berkala dan teratur,laporan tahunan serta informasi material lainnya serta menyediakan sarana bagi investor unutk mengakses informasi penting perusahaan dengan mudah.

                        Prinsip Akuntabilitas
Telkom beserta entitas anak dikelola dengan kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggung jawaban pemegang saham, Dewan Komisaris, Direksi, komite – komite, dan sekretaris perusahaan agar pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Perseroan menerapkan prinsip akuntabilitas dengan memastikan telah tersedianya piagam – piagam yang diperlukan bagi masing – masing organ perusahaan utama, sehingga tercipta mekanisme check and balances kewenangandan peran dalam pengelolaan perusahaan. Perseroan melengkapi struktur pengelolaan dengan fungsi –fungsi tertentu seperti : memiliki komisaris independen dan audit internal yang efektif.


                        Prinsip Responsibilitas
Telkom beserta entitas anak dikelola dengan memeatuhi ketentuan dan peraturan  perundang – undangan yang berlaku serta menerapkan prinsip – prinsip korporasi yang sehat. Perseroan menerapkan prinsip responsibilitas dengan memastikan bahwa Telkom senantiasa mematuhi seluruh ketentuan dan peraturan perundang – undangan yang berlaku, mencakup : undang – undang/peraturan perpajakan, persaingan yang sehat, hubungan industrial, kesehatan/keselamatankerja, standar penggajian dan peraturan relevan lainnya. Perseroan bahkan memiliki fungsi VP Legal and Compliance yang secara struktural bertugas untuk memastikan pemenuhan seluruh ketentuan perundangan dan peraturan tersebut.

                        Prinsip Independensi
Telkom beserta entitas anak dikelola dengan professional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku dan prinsip – prinsip korporasi yang sehat. Perseroan menerapkan prinsip independensi dengan mencantumkan secara tegas aturan – aturan/wewenang pengambilan keputusan korporasi dalam Board charter maupun anggaran dasar perusahaan. Selain itu, perseroan menerapkan kebijakan tambahan seperti : Kebijakan Transaksi Benturan Kepentikan, Larangan Pemberian dan Penerimaan Hadiah dan Donasi, Larangan Donasi Parpol, penerapan E-Procurement dalam proses pengadanaan barang/jasa, dan beberapa kebijakan sejenis lainnya.

                        Prinsip Fairness (Kesetaraan dan Kewajaran)
Telkom beserta entitas anak dikelola dengan keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak – hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Perseroan menerapkan prinsip Fairness dalam berbagai aspek oprasional, meliputi : penghormatan hak pemegang saham minoritas, larangan insider trading, penerapan manajemen kinerja berdasarkan balanced scorecard, pemberlakuan lelang terbuka dalam pengadaan barang/jasa, implementasi e-procurement.

3.2 Pengaruh EVA dan MVA di PT.Telekomunikasi Indonesia
            Economic Value Added (EVA)
Berikut ini merupakan langkah-langkah perhitungan Economic Value Added (EVA) PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 :
 (1) Menghitung Net Operating Profit After Tax (NOPAT). NOPAT adalah laba yang diperoleh dari laba operasi perusahaan, dikurang dengan pajak. NOPAT menunjukan nilai yaitu ditahun 2013 adalah 20.987 (dalam miliaran rupiah) pada tahun 2014 mengalami kenaikan sebesar 4,19 % atau meningkat menjadi 21.867 (dalam miliaran rupiah) peningkatan ini disebabkan karena terjadinya peningkatan pada EAT (Earning After Tax ) dari 2013 sebesar 27.846 ke 2014 sebesar 4,88% atau naik menjadi 29.206 (dalam miliaran rupiah) dan pada komponen pajak ikut naik dari 6.859 (dalam miliaran rupiah) naik menjadi 7.339 (dalam miliaran rupiah) atau naik sebesar 7 % ditahun 2014. Pada tahun 2015 NOPAT juga mengalami kenaikan sebesar 11,55 % yaitu dari 21.867 (dalam miliaran rupiah) menjadi 24.393 (dalam miliaran rupiah) dari tahun 2014. Disisi lain  pajak juga mengalami kenaikan dari tahun 2014 naik dari 7.339 (dalam miliaran rupiah) menjadi 8.025 (dalam miliaran rupiah) ditahun 2015 atau naik sebesar 9,35 %. Net Operating Profit After Tax sangat mempengaruhi tingkat penciptaan nilai perusahaan, jika nilai NOPAT rendah kemudian tingkat biaya modal lebih tinggi maka perusahaan tidak berhasil menciptakan nilai tambah bagi perusahaan. Naik turunnya nilai NOPAT dipengaruhi oleh Pajak dan Laba usaha, perusahaan harus lebih memperhatikan laba usaha jika ingin membuat nilai tambah bagi perusahaan.
(2) Invested Capital. Berdasarkan perhitungan Invested Capital dari tahun 2013- 2014 mengalami kenaikan sebesar 10.04 % yaitu dari 99.514 (dalam miliaran rupiah) menjadi 109.504 (dalam miliaran rupiah) dan dari tahun 2014-2015 mengalami kenaikan sebesar 19.41%.
(3) Biaya Modal Rata- rata tertimbang dengan pendekatan Weighted Average cost of capital (WACC). Ditahun 2013 WACC diketahui 0,16 dan mengalami penurunan menjadi 0,15 ditahun 2014. Tetapi ditahun 2015 nilai WACC adalah 0,15 atau sama dengan WACC tahun 2014.
(4)  Perhitungan Capital Charges, Hasil perhitungan Capital Charges diperoleh dari hasil perkalian antara modal yang diinvestasikan dengan WACC. Pada tahun 2013 diperoleh nilai sebesar 15.922.240.000.000 tahun 2014 diperoleh nilai 16.425.600.000.000 dan terakhir pada tahun 2015 diperoleh nilai sebesar 19.614.000.000.000.
(5) Perhitungan Economic Value Added, Dengan komponen yang telah dihitung diatas maka kemudian dapat dihitung nilai EVA PT.Telekomunikasi Indonesia Tbk yaitu dengan mengurangi NOPAT dengan Capital Charges. Penilaian kinerja melalui metode EVA menghasilkan nilai EVA yang bervariasi. Hal ini disebabkan oleh jumlah capital yang dimiliki tiap tahun. Nilai EVA positif pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2015 tingkat pengembalian yang dihasilkan lebih besar dari tingkat biaya yang dikeluarkan. atau besarnya laba bersih dan rendahnya biaya modal. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan konsep EVA terlihat bahwa nilai EVA akan positif apabila nilai NOPAT melebihi Capital Charges yang berarti terjadi penciptaan nilai NOPAT lebih besar dan peningkatan capital Capital Charges yang berarti terjadi peningkatan atau perbaikan nilai tambah, yang terjadi di PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk semua NOPAT lebih dari nilai Capital Charges Pada tahun 2013 manajemen berhasil menciptakan nilai EVA positif sebesar Rp. 5.064.760.000.000 dengan nilai NOPAT Rp. 20.987.000.000.000 dan Capital Charges dengan nilai Rp. 15.922.240.000.000. Capital Charges dipengaruhi oleh komponen WACC yaitu biaya modal atas ekuitas (Cost Of equity), biaya modal atas hutang (cost of debt), Tingkat Modal dari Utang, tingkat ekuitas, dan tingkat pajak (Tax). Pada 2014 terjadi EVA yang positif lebih besar dari 2013 yaitu sebesar  Rp. 5.441.400.000.000 dengan nilai NOPAT Rp. 21.867.000.000.000 dan Capital Charges dengan nilai Rp. 16.425.600.000.000. Kemudian ditahun 2015 NOPAT mengalami kenaikan dengan nilai NOPAT sebesar Rp. 24.393.000.000.000. dan Capital Charges dengan nilai sebesar Rp.  19.614.000.000.000 maka didapat nilai EVA adalah Rp. 4.779.000.000.000. Maka diketahui bahwa PT.Telekomunikasi Indonesia mengalami nilai tambah dari tahun 2013-2015. Manajemen berhasil menciptakan nilai tambah bagi perusahaan, dan berhasil menciptakan nilai bagi penyedia dana. Berarti manajemen bekerja sesuai dengan keinginan pemegang saham.
Market Value Added (MVA)
Pada tahun 2013, MVA yang dihasilkan PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk positif sebesar Rp. 131.342.835.240.000 . Hal ini menandakan perusahaan berhasil memelihara kepercayaan investor atas modal yang diberikan untuk meningkatkan nilai modal yang ditanamkan kepada investornya.  Pada tahun 2014, MVA yang dihasilkan positif lebih besar dari tahun 2013 sebesar Rp. 195.351.820.564.000 dengan MVA yang lebih besar dari tahun sebelumnya perusahaan bisa menambah kepercayaan investor. Begitu juga dengan tahun 2015 MVA semakin meningkat dari tahun-tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp. 211.657.462.543.000. Maka diketahui bahwa PT. Telekomunikasi Indonesia Tbk telah mampu meningkatkan kekayaan perusahaan dan para pemegang saham atau bisa dikatakan kinerja perusahaan sehat, dan semakin tinggi nilai MVA, semakin baik pekerjaan yang telah dilakukan manajemen bagi pemegang saham perusahaan.
                
BAB IV
 KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Dalam penulisan ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan GCG dilingkungan TELKOM telah berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku. EVA yang dihasilkan perusahaan TELKOM berpengaruh positif terhadap perusahaan karena berhasil menciptakan nilai tambah bagi perusahaan dan MVA yang dihasilkan perusahaan TELKOM bernilai positif yang artinya kinerja perusahaan baik. 

DAFTAR PUSTAKA

Gustina 2008, “Etika Bisnis Suatu Kajian Nilai Dan Moral Dalam Bisnis” Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Vol.3 No.2

Najmudin 2011, “STUDI TENTANG INTERVENSI ETIKA DAN PENINGKATAN MORAL MAHASISWA” Jurnal Bisnis Ekonomi Vol.18 No.1

Sari Novita Wulan  , Tjahjanulin Domai, Stefanus Panirengu, “PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE DI PT. TELKOM MALANG” Jurnal Administrasi Publik , Vol. 2, No.4

Hanafi, Agustina & Leonita Putri 2013, “PENGGUNAAN ECONOMIC VALUE ADDED (EVA) UNTUK MENGUKUR KINERJA DAN PENENTUAN STRUKTUR MODAL OPTIMAL PADA PERUSAHAAN TELEKOMUNIKASI (GO PUBLIK)” Jurnal Manajemen dan Bisnis Sriwijaya Vol.11 No.2