Jumat, 24 Maret 2017

PERBEDAAN GENDER DALAM BISNIS



Disusun Oleh :
Nama         : Irsandy Hafizh
Kelas          : 3EA28
NPM          : 15214471
Dosen        : Rowland Bismark F.P



FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2017

BAB I
PENDAHULUAN 


1.1  Latar Belakang

Di era globalisasi saat ini, persaingan menjadi semakin ketat dan hanya mereka yang siap dan mempunyai bekal serta sikap profesionalisme yang memadai saja yang dapat tumbuh dan bertahan. Setiap profesi dituntut untuk bekerja secara profesional. Kemampuan dan keahlian khusus yang dimiliki oleh suatu profesi adalah suatu keharusan agar profesi tersebut mampu bersaing di dunia usaha sekarang ini. Namun, selain kemampuan dan keahlian khusus, suatu profesi harus memiliki etika yang merupakan aturan-aturan khusus yang harus ditaati oleh pihak yang menjalankan profesi tersebut. Setiap profesi membutuhkan pengetahuan dan keahlian khusus, dan setiap profesional diharapkan memiliki kualitas personal tertentu. Setiap individu itu unik. Tidak ada dua orang yang persis sama. Meski ada kesamaan dan kemiripan secara fisik, namun karakter atau kepribadian maupun perilakunya tidaklah sama. Perbedaan-perbedaan individual yang ada bukanlah hal yang mengejutkan. Perbedaan-perbedaan itu meliputi berbagai aspek, di antaranya terkait dengan sikap, perspesi dan kemampuan. Seseorang bisa dipengaruhi oleh orang lain, situasi, kebutuhan, dan pengalaman masa lalu. Studi mengenai perbedaan individual seperti sikap, persepsi, dan kemampuan dapat membantu seorang manajer dalam suatu organisasi untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam tingkat kinerja karyawan (Gibson et al., 2003).
Keberagaman komposisi Dewan Komisaris dan Dewan Direksi dapat diklasifikasikan dari segi usia, etnis, dan jenis kelamin. Selain itu juga terdapat keberagaman dalam hal kepemilikan, pengalaman, latar belakang pendidikan, dan status sosial ekonomi (Jackson dan Alvarez, 1992; Sessa dan Jackson, 1995). Dengan mengidentifkasi keberagaman dari kelompok minoritas, baik perempuan maupun etnis minoritas, kita dapat menguji apakah dengan ada atau tidak adanya kelompok minoritas tesebut dapat mempengaruhi performa perusahaan, baik dari segi tata kelola perusahaan, tanggung jawab sosial perusahaan, inovasi, serta strategi perusahaan. Hal ini mengacu pada hasil penelitian dari para ahli sebelumnya yang telah melakukan upaya-upaya untuk menghubungkan keberagaman dengan aspek yang berbeda dalam perusahaan, seperti perubahan strategis perusahaan (Goodstein et al, 1994;. Wiersema dan Bantel, 1992), inovasi organisasi (Bantel dan Jackson, 1989), tata kelola perusahaan (Adams dan Ferreira, 2009), dan tanggung jawab sosial perusahaan (Coffey dan Wang, 1998; Williams, 2003). Berdasarkan penelitian sebelumnya, sekarang ini mulai terjadi peningkatan jumlah perempuan pada Dewan Komisaris dan Direksi di berbagai negara. Rose (2007) melaporkan bahwa terdapat keinginan untuk meningkatan peran perempuan pada anggota dewan secara signifikan. Norwegia telah memiliki hukum yang mengharuskan 40% dari anggota dewan adalah perempuan. (Rose, 2007). Sedangkan di Spanyol juga baru saja mengeluarkan undang-undang terkait kuota untuk jumlah anggota dewan perempuan (Adams & Ferreira, 2009).
                Di Indonesia, berdasarkan hasil studi Centre for Governance, Institutions and Organisations (CGIO) National Singapore University Business School (2012), persentase perempuan pada Dewan Komisaris dan Dewan Direksi perusahaan publik yang terdaftar di Indonesia Stock Exchange (IDX) sebesar 11,6%. Dari nilai tersebut, sebesar 34% dewan perusahaan hanya memiliki satu wanita pada anggota dewan dan hanya 2,8% yang memiliki empat atau lebih perempuan anggota dewan. Perusahaan-perusahaan terbaik memiliki lima atau lebih anggota dewan perempuan diantaranya Tempo Scan Pacific Tbk, Bank CIMB Niaga Tbk, Bank Internasional Indonesia Tbk, Ciputra Surya Tbk, dan Mitra Adiperkasa Tbk. Jika dibandingkan dengan negara lainnya, nilai 11,6% lebih rendah dari Eropa (17%), Amerika Utara (16,1%) dan Australia (13,8%); namun lebih baik jika dibandingkan dengan rata-rata pasar negara berkembang lainnya sebesar 7,2%. Posisi Indonesia juga memimpin negara Asia lainnya, seperti Jepang (1,1%), Hongkong (10,3%), Malaysia (7,3%) dan Singapore (7,3%). Berdasarkan keterangan diatas terlihat jelas bahwa terdapat indikasi peningkatan pada jumlah anggota dewan perempuan di perusahaan berbagai macam negara, tidak terkecuali di Indonesia. Namun, apakah dengan meningkatnya jumlah perempuan pada Dewan Komisaris dan Dewan Direktur suatu perusahaan dapat meningkatkan performa perusahaan?
            Pada jurnal Carter et al (2010) disebutkan bahwa keberagaman gender memiliki pengaruh terhadap kinerja perusahaan. Teori yang mendukung pernyataan tersebut adalah Resource Dependency Theory dan Human Capital Theory. Namun berdasarkan uji hipotesa yang dilakukan oleh Carter et al (2010), keberagaman gender tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan. Hal ini berdasarkan analisis regresi hasil perhitungan kinerja keuangan dengan menggunakan Tobin‟S Q dan Return On Assets Tobin‟s Q menghitung kinerja keuangan perusahaan dari sisi kekayaan perusahaan, sedangkan ROA menghitung kinerja keuangan perusahaan dari sisi pendapatan. Hasilnya diperoleh bahwa tidak ada hubungan baik positif ataupun negatif antara keberagaman gender dan kinerja keuangan perusahaan. Sedangkan pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Darmadi (2010) bahwa proposi perempuan pada tingkat eksekutif memiliki hubungan negatif terhadap total aset. Maka, disimpulkan bahwa proposi perempuan yang tinggi pada tingkat dewan perusahaan umumnya terjadi pada perusahaan kecil yang berorientasi perusahaan keluarga. Terdapat kemungkinan bahwa perempuan dapat memegang kursi dewan perusahaan dikarenakan ikatan keluarga atau sebagai pemegang saham kendali. Oleh karena itu perusahaan-perusahaan yang besar dianggap lebih sulit bagi perempuan untuk memperoleh kesempatan di kursi dewan perusahaan.
                Karyawan yang satu berbeda dengan yang karyawan yang lain dalam banyak
hal. Seorang manajer perlu mengetahui bagaimana perbedaan seperti itu dapat mempengaruhi perilaku dan kinerja bawahannya. Perbedaan-perbedaan individual bisa saja membuat seorang individu itu berkinerja dengan lebih baik daripada individu lainnya. Perbedaan individual tidak lepas dari pengaruh lingkungan seperti pekerjaan, keluarga, komunitas dan masyarakat. Isu mengenai individual behavior and differences ini sangat penting dalam membahas masalah perilaku organisasi. Karyawan yang bergabung dalam sebuah organisasi harus menyesuaikan diri pada sebuah lingkungan baru, orang-orang baru, dan tugas-tugas baru. Bagaimana seseorang menyesuaikan dirinya dengan situasi dan orang lain utamanya tergantung pada kesiapan psikologisnya dan latar belakang personal. Beberapa wanita lebih baik dalam menjadi salespeople daripada beberapa pria. Sebaliknya, beberapa pria lebih baik dalam menjadi pemberi perhatian daripada beberapa wanita. Pencarian kemiripan dan perbedaan dalam gender tampaknya terus berlanjut karena mayoritas penelitian berbasis organisasi telah dilakukan dengan menggunakan sampel pria (Gibson et al.,2003).
Dalam pembangunan pemberdayaan perempuan yang terjadi selama ini permasalahan mendasar yang masih dialami adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan, di samping masih adanya berbagai bentuk praktik diskriminasi terhadap perempuan. Rendahnya kualitas hidup perempuan terjadi di berbagai lini, antara lain sosial budaya, lingkungan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik. Selama satu dekade terakhir, partisipasi perempuan di pasar tenaga kerja mengalami peningkatan yang cukup nyata, meskipun prosentasenya kecil jika dibandingkan dengan laki-laki. Perubahan ini menunjukkan adanya peningkatan peran perempuan yang sangat berarti dalam kegiatan ekonomi di Indonesia. Namun demikian, struktur angkatan kerja perempuan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Dengan demikian, sebagian besar perempuan masih berkiprah di sektor informal atau pekerjaan yang tidak memerlukan kualitas pengetahuan dan keterampilan canggih atau spesifik. Dalam perspektif gender, proporsi tenaga kerja perempuan dan laki-laki di sektor informal adalah 40% perempuan, dan 60% laki-laki. Proporsi tenaga kerja perempuan di sektor informal ini mencakup 70% dari keseluruhan tenaga kerja perempuan.
                Pekerjaan perempuan di sektor informal biasanya kurang memberikan jaminan perlindungan secara hukum dan jaminan kesejahteraan yang memadai, di samping kondisi kerja yang memprihatinkan serta pendapatan yang rendah. Namun demikian, meski perempuan mendapat upah hanya 70% dibandingkan laki-laki, tetapi perempuan telah mengambil porsi 45% dari seluruh partisipasi angkatan kerja. Dalam area pertanian, perempuan mengalami porsi 48,65%, perdagangan perempuan mengambil porsi 23,44%.
Sementara dalam area industri, tenaga kerja perempuan meliputi 13,44% dan jasa 12,24%. Pada aspek pertanian, di mana kebanyakan kaum perempuan menjadi tenaga kerja tanpa upah karena merupakan usaha keluarga sebanyak 80%. Dari data tersebut, dapat dilihat betapa perempuan kurang mendapat akses dan keadilan dalam bidang ekonomi. Perempuan masih banyak melakukan pekerjaan di sektor informal yang tidak memerlukan keahlian dan keterampilan, dan tentunya ini berimplikasi pada perlindungan hukum yang kurang, penerimaan upah yang tidak memadai, belum lagi beban ganda yang dirasakan. Tulisan ini akan memaparkan tentang diskriminasi gender terhadap perempuan dalam sektor pekerjaan yang mencakup pembagian kerja dalam lintasan sejarah, faktor-faktor yang menyebabkan diskriminasi, serta kaitannya dengan kesetaraan dan keadilan.
Gender merupakan isu yang sedang berkembang dalam dunia pekerjaan. Perbedaan gender dalam bekerja merupakan hal yang menjadi perhatian saat ini. Beban tugas dan peran yang berbeda antara karyawan perempuan dan laki-laki sering membuat kesenjangan yang mengakibatkan ketidaknyamanan antara karyawan perempuan maupun laki-laki. Terkadang pada perusahaan tertentu sering terjadi perlakuan yang berbeda antara karyawan laki-laki dengan karyawan perempuan. Perusahaan menilai karyawan laki-laki lebih memiliki perilaku kerja yang cekatan. Karena fisik yang lebih kuat dari karyawan perempuan, ataupun karyawan perempuan yang lebih bijaksana mengambil keputusan dengan pemikiran yang penuh pertimbangan dan memakai perasaan. Masalah mengenai gender dalam perusahaan yaitu karyawan perempuan merasakan mentalnya menurun saat mendapat tuntutan pekerjaan, karyawan perempuan disamping memiliki tugas dalam pekerjaannya tetapi memiliki tugas juga sebagai ibu rumah tangga.
Partisipasi perempuan saat ini, bukan sekedar menuntut persamaan hak tetapi juga menyatakan fungsinya mempunyai arti bagi pembangunan dalam masyarakat Indonesia. Melihat potensi perempuan sebagai sumber daya manusia maka upaya menyertakan perempuan dalam proses pembangunan bukan hanya merupakan perikemanusiaan belaka, tetapi merupakan tindakan efisien karena tanpa mengikut sertakan perempuan dalam proses pembangunan berarti pemborosan dan memberi pengaruh negatif terhadap lajunya pertumbuhan ekonomi (Pudjiwati, 1983). Partisipasi perempuan menyangkut peran tradisi dan transisi. Peran tradisi atau domestik mencakup peran perempuan sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Sementara peran transisi meliputi pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat dan manusia pembangunan. Pada peran transisi wanita sebagai tenaga kerja turut aktif dalam kegiatan ekonomis (mencari nafkah) di berbagai kegiatan sesuai dengan ketrampilan dan pendidikan yang dimiliki serta lapangan pekerjaan yang tersedia (Sukesi, 1991). Nampaknya sebagian besar masyarakat Indonesia sepakat bahwa peranan perempuan tidak bisa dipisahkan dengan peran dan kedudukan mereka dalam keluarga. Mengingat di masa lalu, perempuan lebih banyak terkungkung dalam peran sebagai pendamping suami dan pengasuh anak. Namun seiring dengan kemajuan ekonomi dan meningkatnya pendidikan wanita maka banyak ibu rumah tangga dewasa ini yang tidak hanya berfungsi sebagai manajer rumah tangga, tetapi juga ikut berkarya di luar rumah.
Pembagian kerja laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada aktivitas fisik yang dilakukan, di mana perempua bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga, sedangkan laki-laki bertanggung jawab atas pekerjaan nafkah. Pekerjaan rumah tangga tidak dinilai sebagai pekerjaan karena alasan ekonomi semata dan akibatnya pelakunya tidak dinilai bekerja. Permasalahan yang muncul kemudian adalah pekerjaan rumah tangga sebagai bagian dari pekerjaan non produksi tidak menghasilkan uang, sedangkan pekerjaan produksi (publik) berhubungan dengan uang. Uang berarti kekuasaan, berarti akses yang besar ke sumbersumsber produksi, berarti status yang tinggi dalam masyarakat. Dalam perkembangan budaya, konsep tersebut di atas berakar kuat dalam adat istiadat yang kadang kala membelenggu perkembangan seseorang. Pantang keluar rumah, seorang anak perempuan harus mengalah untuk tidak melanjutkan sekolah, harus menerima upah yang lebih rendah, harus bekerja keras sambil menggendong anak, hanya karena dia perempuan (Keppi Sukesi, 1991). Ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan akan memunculkan persepsi bahwa perempuan dilahirkan untuk melakukan pekerjaan yang jauh lebih terbatas jumlahnya dengan status pekerjaan rendah pula. Di negara berkembang, tingkat pendidikan yang sangat rendah dengan ketrampilan rendah pula, memaksa perempuan memasuki sektor informal yang sangat eksploitatif dengan gaji sangat rendah, jam kerja yang tak menentudan panjang, tidak ada cuti dengan bayaran penuh serta keunntungan –keuntungan lainnya (Syamsiah Achmad, 1995).
Pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa peraturan tentang ketenagakerjaan agar tidak ada diskriminasi terhadap pekerja laki-laki maupun perempuan, seperti pemerintah telah meratifikasi Convention of Elimination All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) menjadi Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Terutama yang tertuang dalam Pasal 11 Ayat 1 mengenai ketenagakerjaan yang harus diperhatikan oleh pihak manajerial pabrik. Pemerintah juga telah menetapkan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 25 Tahun 1997, terutama Bab VII yang mengatur perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan pekerja. Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan di Indonesia telah mengusung program Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) untuk menghapus segala bentuk diskriminasi baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Kesetaraan 3 dan Keadilan Gender juga merupakan salah satu tujuan pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
            Bisnis selalu dikaitakan dengan keuntungan yang akan diperoleh pelaku bisnis baik materi maupun non materi. Selain mendapatkan keuntungan, bisnis juga dapat menimbulkan kerugian. Jika terjadi kerugian maka pelaku bisnis harus bertindak adil dalam menyelesaikan masalah tersebut. Keadilan menyangkut beberapa pihak yang dirugikan.Masalah keadilan berkaitan secara timbal balik dengan kegiatan bisnis, khususnya bisnis yang baik dan etis. Di satu pihak terwujudnya keadilan dalam masyarakat akan melahirkan kondisi yang baik bagi kelangsungan bisnis yang baik dan sehat. Praktek bisnis yang baik, etis, dan adil, akan ikut mewujudkan keadilan masyarakat. Sebaliknya, ketidakadilan yang merajalela akan menimbulkan gejolak sosial yang meresahkan para pelaku bisnis. Berdasarkan uraian diatas maka penulisan ini bermaksud untuk membahas tentang “PERBEDAAN GENDER DALAM BISNIS”.

1.2 Rumusan Masalah
Dalam hal ini berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah Perbedaan Gender di dalam bisnis ?
2.     Bagaimanakah contoh kasus tentang permasalahan Gender  dan upaya penyelesaiannya?

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.      untuk mengetahui Perbedaan Gender dalam bisnis
2.     untuk mengetahui contoh kasus tentang permasalahan Gender dan upaya penyelesaiannya 

BAB II
 TELAAH LITERATUR
2.1 Pengertian Gender
Disadari bahwa isu gender merupakan isu baru bagi masyarakat, sehingga menimbulkan berbagi tafsiran dan respons yang tidak proposional tentang gender. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah bermacam-macamnya tafsiran tentang pengertian gender. Istilah gender menurut Oakley (1972) berarti perbedaan atau jenis kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Sedangkan menurut Caplan (1987) menegaskan bahwa gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain dari struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan cultural. Gender dalam ilmu sosial diartikan sebagai pola relasi lelaki dan perempuan yang didasarkan pada ciri sosial masing- masing (Zainuddin, 2006: 1). Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Sedangkan Linda L. Lindsey menganggap bahwa semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki dan perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminim is a component of gender). H. T. Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Elaine Showalter menyebutkan bahwa gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial-budaya (Nasaruddin Umar, 2010: 30). Adapun istilah-istilah yang berkaitan dengan gender sebagaimana yang disampaikan dalam materi Workshop oleh Tim Gender Direktorat SMP adalah sebagai berikut:
1.       Pengarusutamaan Gender
Pengarusutamaan gender adalah strategi yang digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan mengontrol proses pembangunan. 
2.      Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Terwujudnya kesetaraan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Adapun indikator kesetaraan gender adalah sebagai berikut:
a.       Akses
Yang dimaksud dengan aspek akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu. Mempertimbangkan bagaimana memperoleh akses yang adil dan setara antara perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya yang akan dibuat. Sebagai contoh dalam hal pendidikan bagi guru adalah akses memperoleh beasiswa melanjutkan pendidikan untuk guru perempuan dan laki-laki diberikan secara adil dan setara atau tidak.
b.      Partisipasi
Aspek partisipasi merupakan keikutsertaan atau partisipasi seseorang atau kelompok dalam kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan. Dalam hal ini guru perempuan dan laki-laki apakah memiliki peran yang sama dalam pengambilan keputusan di sekolah atau tidak.
c.       Kontrol
Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan. Dalam hal ini apakah pemegang jabatan sekolah sebagai pengambil keputusan didominasi oleh gender tertentu atau tidak.
d.      Manfaat
Manfaat adalah kegunaan yang dapat dinikmati secara optimal. Keputusan yang diambil oleh sekolah memberikan manfaat yang adil dan setara bagi perempuan dan laki-laki atau tidak.
3.      Keadilan Gender
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
4.      Kesenjangan Gender
         Dikatakan terjadi kesenjangan gender apabila salah satu jenis kelamin berada dalam keadaan tertinggal dibandingkan jenis kelamin lainnya (L>P atau L<P).

2.2 Pengertian Bisnis
                Bisnis adalah suatu organisasi yang menjual barang atau jasa kepada konsumen untuk mendapatkan laba. Secara historis kata bisnis dari bahasa inggris (business), dari kata dasar busy yang berarti "sibuk" dalam konteks individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan. Dalam ekonomi kapitalis, dimana kebanyakan bisnis dimiliki oleh pihak swasta, bisnis dibentuk untuk mendapatkan profit dan meningkatkan kemakmuran para pemiliknya. Pemilik dan operator dari sebuah bisnis mendapatkan imbalan sesuai dengan waktu, usaha, atau kapital yang mereka berikan. Namun tidak semua bisnis mengejar keuntungan seperti ini, misalnya bisnis koperatif yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan semua anggotanya atau institusi pemerintah yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Model bisnis seperti ini kontras dengan sistem sosialistik, dimana bisnis besar kebanyakan dimiliki oleh pemerintah, masyarakat umum, atau serikat pekerja. Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau sekelompok orang sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan. Kata "bisnis" sendiri memiliki tiga penggunaan, tergantung skupnya — penggunaan singular kata bisnis dapat merujuk pada badan usaha, yaitu kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang bertujuan mencari laba atau keuntungan. Penggunaan yang lebih luas dapat merujuk pada sektor pasar tertentu, misalnya "bisnis pertelevisian." Penggunaan yang paling luas merujuk pada seluruh aktivitas yang dilakukan oleh komunitas penyedia barang dan jasa. Namun definisi "bisnis" yang tepat masih menjadi bahan perdebatan hingga saat ini.

2.3  Bentuk Kepemilikan Bisnis
Meskipun bentuk kepemilikan bisnis berbeda-beda pada setiap negara, ada beberapa bentuk yang dianggap umum:                                                                                                                              
Perusahaan perseorangan: Perusahaan perseorangan adalah bisnis yang kepemilikannya dipegang oleh satu orang. Pemilik perusahaan perseorangan memiliki tanggung jawab tak terbatas atas harta perusahaan. Artinya, apabila bisnis mengalami kerugian, pemilik lah yang harus menanggung seluruh kerugian itu.
Persekutuan: Persekutuan adalah bentuk bisnis dimana dua orang atau lebih bekerja sama mengoperasikan perusahaan untuk mendapatkan profit. Sama seperti perusahaan perseorangan, setiap sekutu (anggota persekutuan) memiliki tanggung jawab tak terbatas atas harta perusahaan. Persekutuan dapat dikelompokkan menjadi persekutuan komanditer dan firma.                                                                                        
Perseroan: Perseroan adalah bisnis yang kepemilikannya dipegang oleh beberapa orang dan diawasi oleh dewan direktur. Setiap pemilik memiliki tanggung jawab yang terbatas atas harta perusahaan.           
Koperasi: adalah bisnis yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Koperasi bertujuan untuk menyejahterakan anggotanya. Karateristik utama koperasi yang membedakan dengan badan usaha lain adalah anggota koperasi memiliki identitas ganda. Identitas ganda maksudnya anggota koperasi merupakan pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.                                                                                               
2.4 Perkembangan Bisnis Di Indonesia
            Saat ini di Indonesia pesat sekali dalam perkembangan bisnis. Banyak pengembangan bisnis muncul dari bisnis kecil hingga bisnis yang mendunia, dari bisnis offline hingga bisnis online. Hal tersebut sangat mengangumkan sekali bagi bangsa Indonesia. Dalam perkembangan bisnis offline Indonesia bisa disebut merupakan prospek pasar yang cerah bagi para investor. Terutama invstor dalam negeri. Karena setiap sudut di negara kita ini bisa menghasilkan uang. Sudah banyak para pebisnis sukses Indonesia yang berhasil. Kita liat saja seperti Tung Desem Waringin, Abdurizal Bakrie dll. Itu merupakan beberapa contoh betapa besarnya geliat bisnis di negeri kita ini. Dan juga bisnis di Indonesia sudah mulai dilirik oleh pasar luas yaitu pasar asing. Para investor luarpun berlomba-lomba untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Itu merupakan apresiasi yang bagus dari para investor dan menandakan bahwa Indonesia mulai dipercaya untuk menjadi tempat penanaman modal. Bisnis online pun saat ini tidak kalah pentingnya. Meskipun dibilang agak tertinggal dari bisnis offline tetapi bisnis online terus mengejarnya. Di pasar internasional Indonesia merupakan salah satu pelaku yang diakui dalam bisnis online. Itu terbukti dengan banyaknya para pengguna internet dari Indonesia yang menggunakan “ebuy” yang merupakan salah satu situs jual beli berskala internasional. Meskipun belum mendapat kepercayaan tinggi di bidang bisnis online. Indonesia tetap menggeliat dalam berbisnis online. Dan secara bertahap pasar internasional mulai mempercayai Indonesia. Itu ditandai dengan datangnya web-web besar seperti paypal, skype, yahoo ke Indonesia. Mereka berbondong-bondong ke Indonesia untuk memanfaatkan pasar Indonesia. Dari beberapa hal diatas dapat disimpulkan bahwa geliat bisnis Indonesia di pasar Internasional sangat bagus. Animo masyarakat tentang bisnis berskala internasional mulai terbuka. Dan dengan itu sebuah web di Indonesia menyediakan sebuah layanan jejaring untuk meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan kepada sesama pebisnis. Layanan ini sangat bagus untuk membantu sesama pebisnis dalam kebersamaan. Karena jejaring sosial yang konsen terhadap bisnis Indonesia ini sangat mendukung perkembangan Indonesia.

BAB III
 PEMBAHASAN

3.1 Perbedaan Gender Dalam Bisnis
            Dalam hal ini akan menjalaskan tentang perbedaan Pria & Wanita di dalam berbisnis atau bekerja yaitu :
1.      Cara Berpikir.
Pola pikir pria cenderung didasari pada fakta, sementara wanita cenderung pada konsep dan jalinan hubungan. Semangat wanita sama halnya dengan sistem kereta api bawah tanah, yaitu saling berhubungan, sedangkan semangat pria seperti kapal di atas lautan yang berlayar dari titik A menuju titik B.
2.      Cara Memerintah.
Pria cenderung lebih tegas, sementara wanita lebih halus tetapi dengan penekanan di akhir kalimat. Di satu sisi mereka berusaha mempertahankan keharmonisan, tetapi di sisi lain mereka memberi penekanan seperti kata-kata yang diucapkan di akhir kalimat seperti, "Kamu bisa, kan?"
3.       Pemilahan.
Pria dapat bekerja sama dengan orang yang tidak disukainya. Wanita pada umumnya sulit untuk dapat bekerja sama dengan orang yang tidak disukainya. Hal ini dikarenakan pria dapat memilah-milah, "Pekerjaan, ya, pekerjaan." Sebaliknya, wanita dalam melakukan sesuatu selalu menghubungkan hal satu dan lainnya.
4.       Mengekspresikan Perasaan.
Bila seorang pria ingin mengutarakan perasaannya, mereka akan membicarakannya kepada istri atau kekasihnya. Paling tidak, pada orang terdekatnya. Sementara wanita dapat mengutarakan perasaannya kepada siapa saja, tidak selalu kepada orang yang dekat dengannya, baik kepada teman sekerja ataupun kepada sesama wanita.
5.       Pendekatan.
Saat ada masalah saat menghadapi masalah, pria akan berpikir untuk mencari jalan keluarnya. Bagi wanita, tidak cukup hanya dengan memikirkan permasalahan yang dihadapi. Wanita memerlukan seseorang untuk mendengarkan keluhannya walaupun orang tersebut tidak selalu harus memberi solusi. Pria memerlukan solusi. Pria senang memecahkan permasalahan, tidak hanya membicarakannya.
6.       Tujuan.
Baik pria maupun wanita ingin mencapai tujuannya, tetapi masing-masing punya cara yang berbeda. Pria cenderung memfokuskan hasil akhir dan tertarik pada cara pencapaian usaha. Wanita lebih memfokuskan pada pencapaian sasaran dan cenderung untuk mempertimbangkan penilaian orang lain. Bila di dalam suatu rapat terdapat dua orang pria yang saling berdebat dengan serunya, maka hal itu tidak berarti mereka saling membenci.
7.      Komentar
Pria dapat memberikan komentar secara terus terang dan memotong pembicaraan orang lain bila ingin berkomentar, sementara wanita cenderung lebih peka dan berhati-hati. Oleh karena itu, bila Anda meminta pendapat kepada rekan pria, mereka akan langsung memberikan pendapatnya. Bila Anda tidak suka dan marah pada kejujuran mereka, sulit bagi mereka untuk dapat mengerti reaksi Anda. Jangan lupa, pendapat yang mereka berikan memang merupakan pendapat yang bukan ditujukan kepada pribadi karena pada dasarnya mereka tidak bermaksud untuk menyerang secara pribadi.
8.      Mengajukan Pertanyaan
Pria jarang mengajukan pertanyaan. Dan bila mereka bertanya, biasanya untuk mendapatkan informasi. Wanita sering mengajukan pertanyaan tetapi untuk dua alasan, yaitu untuk memperoleh informasi dan untuk menjaga jalinan suatu hubungan. Itulah sebabnya wanita sering mengajukan pertanyaan yang sebetulnya jawabannya telah mereka ketahui.

3.2 Contoh Kasus Permasalahan Gender
                  Kita tentu tidak asing dengan istlah uang rokok, yaitu uang yang diberikan kepada pekerja sebagai penghargaan atau bonus diluar gaji pokok yang biasa mereka terima. Namun pernahkan kita mendengar istilah uang pembalut ? “Uang rokok dengan mudahnya kita berikan pada supir yang umumnya laki-laki, tapi kenpa tidak pernah terpikir memberikan uang pembalut pada pembantu rumah tangga kita yang pada umumnya adalah perempuan ?” Ini adalah pendapat yang diungkapkan R. Valentina Sagala, SE., SH., MH., seorang aktivis Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga dalam sebuah diskudi publik mengenai nasib kaum perempuan. Ungkapan Valentina Sagala tersebut merupakan salah satu contoh kecil adanya ketidakadilan kedudukan  antara kaum laki-laki dan perempuan.lebih jauh lagi mengenai adanya tindakan ketidakadilan terhadap kaum perempuan ketika kita mempelajari kedudukan perempuan sebagai tenaga kerja dalam dunia industri. Analisis terhadap kondisi buruh perempuan erkait pula dengan analisis terhadap kaum buruh secara kesleuruhan (laki-laki dan perempuan). Analisis tersebut diantaranya, secara fisik bersifat jangka pendek, seperti melihat upah minimum, diskriminalisasi upah antara buruh laki-laki dan perempuan, kondisi kerja yang menyangkut keselamatan kerja, maupun hak untuk berorganisasi. Hasil studi Convention Watch Program Studi Wanita Universitas Indonesia menunjukkna bahwa berdasarkan kasus-kasus yang terungkap di berbagai perusahaan dan industri, diskriminalisasi masih terjadi, yaitu :
1.   Dalam hal mendapatkan hak perempuan atas kesempatan kerja yang sama dengan pria, kebebasan memilih profesi, pekerjaan, promosi, dan pelatihan.
2.      Dalam hal mendapatkan upah yang sama terhadap pekerjaan yang sama nilainya.
3.      Dalam menikmati hak terhadap jaminan sosial.
4.      Hak terhadap kesehatan dan keselamatan kerja.
5.      Hak untuk tidak diberhentikan dari pekerjaan (dan tetap mendapatkan tunjangan) karena menikah dan melahirkan, hak akan cuti haid, cuti hamil, dan melahirkan.

Salah satu penyebab timbulnya konflik antara tenaga kerja dan pengusaha adalah masalah pengupahan.Bagi pekerja, upah adalah hak sebagai imbalan atas jasa dan hasil kerja yang telah mereka kontribusikan sehingga tercapai suatu hasil akhir berupa benda atau jasa.Sedangkan bagi penafngusaha, upah adalah komponen biaya produksi barang dan jasa yang sedapat mungkin dapat ditekan. Pembagian kerja menurut gender telah membawa dampak kerugian bagi tenaga kerja perempuan. Perempuan dianggap sebagai tenaga pekerja cadangan dan pencari nafkah tambahan, sehingga mereka dibayar lebih murah. Ironisnya lagi, terdapat suatu peraturan yang menganggap bahwa perempuan berstatus lajang meskipun sebenarnya ia sudah menikah. Sehingga kaum perempuan tetap mendapatkan upah rendah meskipun ia bekerja secara produktif. Permasalahan yang tidak kalah penting dibanding masalah pengupahan adalah tidak adanya kedudukam struktural meskipun mereka telah bekerja bertahun-tahun di peruahaannya. Banyak diskriminasi dan pelecehan yang terjadi seperti tidak diberikannya cuti haid, misalkan ada pun tidak dianggap bekerja sehingga mereka tidak mendapatkan upah. Cuti hamil baru diberikan perusahaan setelah beberapa buruh melakukan aksi protes. Upah yang tetap dibayarkan tidak utuh melainkan hanya setengahnya. Ada pula aturan di perusahaan yang mengharuskan tenaga kerjanya tidak boleh menikah selama tiga tahun pertama ia bekerja di perusahaan tersebut. Wujud ketidakadilan pada perusahaan adalah sistem manajemen yang dipegang dan didominasi oleh kaum laki-laki, sehingga budaya patriarkhi sangat kental didalamnya.
Contoh bentuk diskriminasi terhadap tenaga kerja perempuan dalam dunia industri adalah kenyataan bahwa mereka terkonsentrasi pada industri padat kerja, seperti misalnya perusahaan tekstil dan garmen dengan jam kerja panjang dan membosankan, penuh dengan limbah industri) dan upah rendah. Dengan demikian industri telah menciptakan sexual division of labor yang baru yaitu pekerjaan ringan di dunia industri padat kerjayang penuh limbah dengan upah murah adalah pekerjaan buruh perempuan. Kondisi buruh perempuan yang bekerja di pabrik tekstil sangat buruk. Dapat dilihat dari kondisi tempat kerja, upah, jam kerja, fasilitas yang diberikan, dan cara perekrutan pada saat penerimaan tenaga kerja. Mereka bekerja dalam ruangan yang luas, sejuk, dan disemprot dengan butiran air untuk menjaga kelembaban benang agar tidak putus. Ruang tersebut penuh mesin pintal yang bunyinya sangat mengganggu urat syaraf. Buruh perempuan menjaga dua sampai enam buah mesin tergantung dari besar dan panjangnya mesin pintal. Mereka harus mondar-mandir sepanjang mesin yang dijaga untuk melihat apakah ada benang yang putus dan perlu disambung.Kesehatan mereka terganggu dengan adanya butiran-butiran kapuk yang kasat mata dan membahayakan bag paru-paru apabila terhirup. Bahkan beberapa buruh dari daerah Karangjati mengaku mereka tidak dapat mengeluarkan air susu mereka selama satu bulan setelah satumelahirhan anak pertama. Hal ini disebabkan karena pada saat hamil mereka tetap bekerja dan getaran-getaran mesin pintal mempengaruhi tidak keluarnya air susu tersebut. Beberapa buruh melakukan pendekatan terhadap supervisor yang lebih dari 82% diantaranya adalah kaum laki-laki, agar pengawasan yang mereka lakukan tidak terlalu ketat hingga mengganggu kativitas bekerja mereka.Namun hal ini justru dimanfaatkan oleh para supervisor.Bahkan mereka melakukan pelecehan-pelecehan seksual berupa rayuan atau mencolek bagian tubuh buruh perempuan.
Contoh lainnya adalah buruh yang bekerja di perusahaan garmen.Berbeda dengan kaum buruh perempuan yang bekerja di perusahaan tekstil, mereka bekerja di ruangan yang lebih terbuka, tidak terlalu bising karena suara mesin jahit relatif lebih lembut dibanding mesin pintal.Mereka tidak perlu berjalan mondar-mandir mengawasi mesin, namun mereka harus bekerja empat jam nonstop dalam ritme ban berjalan. Suasana kerja juga membosankan karena suara mesin-mesin jahit tersebut selalu ritmenya sama.Hubungan antara buruh dan supervisornya pun jauh lebih baik dibanding pada perusahaan tekstil karena sekitar 70% supervisornya adalah kaum perempuan.Pelecehan yang dilakukan oleh supervisor laki-laki tetap saja ada, hanya saja tidak terlalu parah hingga menimbulkan ketakutan yang berlebihan.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam rangka menghapuskan tindakan diskriminasi terhadap kaum perempuan khususnya kaum buruh adalah :
·         Perempuan sebagai korban diskriminasi perlu memperluas networking, mancari mentor, percaya diri untuk mengambil kesempatan yang ada, meningkatkan skill melalui pelatihan atau mentoring, memiliki jiwa enterpreneurship, rasa ingin tahu, passion, keberanian, dan pikiran yang terbuka.
·         Sementara pihak perusahaan juga harus turut serta dalam upaya ini. Aturan yang sesuai dengan atruan formal yang ada harus ditegakkan untuk mencegah timbulnya tindakan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Pemimpin perusahan harus mampu menyadari akan pentingnya melindungi hak-hak kaum buruh Indonesia.
·         Pihak pemerintah perlu melakukan pengawasan yang lebih konkrit dan efektif terhadap permasalahan yang ada.Adanya aturan-aturan formal seharusnya jangan hanya menjadi formalitas melainkan harus benar-benar dijalankan secara optimal. Disamping itu perlu adanya sanksi yang mengikat yang diberlakukan secara tegas dalam rangka menindaklanjuti tindakan diskriminasi dan ketidakadilan gender yang ada. Upaya ini juga bertujuan mecegah terjadinya kembali kasus-kasus yang serupa.

BAB IV
 KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Dalam penulisan ini dapat disimpulkan bahwa  bahwa ada hubungan positif antara perbedaan gender dalam bisnis yaitu dengan cara berkomunikasi yang baik, maka seorang individu dapat mengetahui kekurangannya, baik secara perbedaan biologis, perbadaan gaya prilaku, karakteristik, serta pemahaman tentang bisnis.  Masih banyak terjadi ketimpangan gender yang terjadi pada perusahaan, hal ini dibuktikan dengan banyak terjadinya ketimpangan upah antara buruh laki-laki dan buruh perempuan.   Karena sering terjadi diskriminsi dalam dunia kerja, pengusaha seolah tutup mata dan telinga tidak menerapkan segala aturan dan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah, maka sangat diperlukan untuk merekonstruksi terhadap keadaan yang ada, baik itu merekonstruksi aturan dan peraturan dan merekonstruksi pelaku dalam hal ini pihak pesahaan untuk bisa menerapkan aturan dan peraturan yang ada dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Khotimah, Khusnul 2009, “Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan Dalam Sektor Pekerjaan” Jurnal Studi Gender & Anak Vol.4 No.1

Triani, Andina Ayu, 2011, “Pengarh Gender dan Muatan Etika Dalam Pengajaran Akuntansi Keuangan Pada Persepsi Etika Masyarakat” Ultima Accounting Vol.3 No.1

Mardawati Revita & Mimin Nur Aisyah, 2016, “Pengaruh Orientasi Etis, Gender, Dan Pengetahuan Etika Terhadap Persepsi Mahasiswa Akuntansi Atas Perilaku Tidak Etis Akuntan” Jurnal Profita Edisi 6
                 
Poniman, 2009,”Persepsi Akuntan Pria Dan Akuntan Wanita Terhadap Etika Bisnis Dan Etika Profesi Akuntan”JAI Vol.5 No.1



TANGGUNG JAWAB SOSIAL  PERUSAHAAN DALAM DUNIA BISNIS



Disusun Oleh :
Nama         : Irsandy Hafizh
Kelas          : 3EA28
NPM          : 15214471
Dosen        : Rowland Bismark F.P



FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2017

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

David C. Kohen, Profesor Sekolah Bisnis Harvard, mengatakan dalam bukunya When Corporation Rule the World yang dikutip oleh Harmanto Edy Djatmiko dalam majalah SWA edisi 19 Desember 2005 bahwa dunia bisinis selama setengah abad terakhir telah berkembang menjadi institusi paling berkuasa di planet ini. Kekuasaan pelaku bisnis yang begitu dominan tersebut mau tidak mau pasti mengandung risiko yang tidak kecil karena sepak terjang mereka terutama perusahaan yang telah meraksasa akan memberi dampak signifikan terhadap kualitas tidak saja manusia sebagai individu dan kelompok, juga terhadap lingkungan alam di jagat raya ini. Fenomena inilah yang kemudian memunculkan wacana tentang tanggungjawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR), ada yangmenyebutnya corporate citizenship, bahkan sekarang ini ada yang menyebutnya sebagai corporate philanthropy. Sepanjang yang dapat ditangkap kesan yang muncul tentang corporate social responsibility atau tanggung jawab social perusahaan selama ini adalah berupa aksi-aksi bagi sumbangan untuk kaum miskin, korban bencana alam, pemberantasan penyakit menular, dan aktivitas lainnya yang mirip dengan itu. Sepertinya pelaku bisnis melakukannya hanya sebagai kewajiban akibat tekanan pihak lain atau hanya sekedar basa-basi dan hangat-hangat tahi ayam dan apa yang dibuat itu untuk kepentingan publikasi karena ditampilkan di televisi  yang dilengkapi dengan iklan testimoni. Tampaknya praktik CSR itu ekspresi kepedulian yang sengaja "diumumkan". Jadi perusahaan melakukan CSR itu lebih banyak karena kesungkanan ataupun basa-basi.
Tanggung jawab sosial perusahaan atau sering disebut dengan Corporate Social Responsibility (disingkat dengan CSR) lahir pada tahun 1930-an di Amerika Serikat. Pada prinsipnya CSR merupakan kegiatan yang berawal dari kesadaran perusahaan dan bersifatsukarela. Cikal bakal CSR bermula dari kegiatan perusahaan yang sering kali bersifat spontanitas dan belum terkelola dengan baik. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan dunia usaha serta dengan adanya tuntutan masyarakat dan dunia usaha, maka CSR mulai berkembang. Perusahaan tidak lagi sekedar menjalankan kegiatan ekonomi untuk menciptakan profit (keuntungan) dalam menjaga kelangsungan usahanya, melainkan juga memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat (sosial) dan lingkungannnya. Secara konseptual CSR adalah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian sosial dalam operasi bisnis dan interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) berdasarkan prinsip kesukarelaan dan kemitraan. Dalam konsep yang luas, CSR mencakup kepatuhan perusahaan kepada Hak Asasi Manusia, Perburuhan, perlindungan konsumen dan lingkungan hidup. Sedangkan dalam pengertian yang sempit yaitu pembangunan kesejahteraan masyarakat sekitar perusahaan berada.
Apabila dikaitkan dengan dengan teori tanggung jawab sosial dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan stakeholder dalam arti luas dari pada kepedulian perusahaan terhadap kepentingan perusahaan belaka. Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan usahanya yang berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat dan lingkungan di mana perusahaan melakukan aktivitas usahanya sedemikian rupa, sehingga tidak berdampak negatif pada pihak tertentu dalam masyarakat. Isu tanggung jawab sosial (social corporate responsibility) adalah suatu topik yang berkenaan dengan etika bisnis. Disini terdapat tanggung jawab moral perusahaan baik terhadap karyawan perusahaan dan masyarakat disekitar perusahaan. Oleh karena itu berkaitan pula dengan moralitas, yaitu sebagai standar bagi individu atau sekelompok mengenai benar dan salah, baik dan buruk. Sebab etika merupakan tata cara yang menguji standar moral seseorang atau standar moral masyarakat. Dalam perkembangan etika bisnis yang lebih mutakhir, muncul gagasan yang lebih konfrehensif mengenai lingkup tanggung jawab sosial perusahaan ini. Paling kurang sampai sekarang ada empat bidang yang dianggap dan diterima sebagai termasuk dalam apa yang disebut sebagai tanggung jawab sosial perusahaan.
Belum banyak pelaku bisnis yang memaknai CSR tersebut sebagai sesuatu yang strategis sehingga tidak menempatkannya dalam jantung strategi perusahaan. Masih banyak yang menganggapnya sebagai realitas daripada aset yang akan menjadi daya dukung keunggulan dalam bersaing. Begitu pentingnya CSR bagi perusahaan terutama yang sudah berkelas multinasional, ditegaskan oleh Craig Smith. Dia menawarkan pendekatan yang lebih baru, tentang CSR berupa The New Corporate Philanthropy. Menurutnya, aktivitas CSR harus disikapi secara strategis dengan melakukan alignment inisiatif CSR dengan strategi perusahaan pembentukan budaya organisasi; perumusan visi, misi, dan tujuan bisnis; pengambilan isu yang relevan dengan produk inti dan pasar ini, membangun identitas merek; bahkan menggaet segmen pasar yang baru; dan memporakporandakan pesaing. Michael Porter juga memiliki perspektif yang sama tentang CSR. Dia meyakinkan para pelaku bisnis bahwa aktivitas CSR harus menjadi jantung strategi perusahaan dan ketika itu dilakukan dengan sungguhsungguh akan menjadi sumber keunggulan bersaing yang sangat powerful. Selanjutnya Philip Kotler dan Nancy Lee dalam bukunya Corporate Social Responsibility, Doing the Most Good for Your Comparty and Your Cause mengatakan bahwa kegiatan CSR mestilah berada pada koridor strategi perusahaan yang diarahkan untuk meraih bottom-line business goal, di antaranya mendongkrak penjualan dan segmen pasar; membangun positioning merek; menarik, memotivasi, serta membangun loyalitas pegawai; mengurangi biaya operasional sampai dengan membuat image korporat di pasar modal. Kotler dan kawannya itu sebenarnya ingin mengatakan bahwa CSR tidak lagi hanya sebagai hiasan, namun sudah merupakan nyawa perusahaan
 Keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas. Sebagai salah satu bentuk dan wujud tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan diharapkan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang terutama dimaksudkan untuk membantu memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jadi, tanggung jawab sosial dan moral perusahaan di sini terutama terwujud dalam bentuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang berguna bagi masyarakat. Perusahaan telah diuntungkan dengan mendapat hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada dalam masyarakat tersebut dengan mendapatkan keuntungan bagi perusahaan tersebut. Demikian pula, sampai tingkat tertentu, masyarakat telah menyediakan tenaga-tenaga profesional bagi perusahaan yang sangat berjasa mengembangkan perusahaan tersebut. Karena itu, keterlibatan sosial merupakan balas jasa terhadap masyarakat. Dengan tanggung jawab sosial melalui berbagai kegiatan sosial, perusahaan memperlihatkan komitmen moralnya untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan bisnis tertentu yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas. Dengan ikut dalam berbagai kegiatan sosial, perusahaan merasa punya kepedulian, punya tanggung jawab terhadap masyarakat dan dengan demikian akan mencegahnya untuk tidak sampai merugikan masyarakat melalui kegiatan bisnis tertentu.
CSR pada dasarnya harus lebih ditujuan pada bagaimana seharusnya perusahaan berperilaku terhadap stakeholder mereka seperti antara lain pekerja, konsumen, masyarakat luas bahkan generasi mendatang dibandingkan dengan apa yang disumbangkan perusahaan secara langsung. Dengan kata lain, besar kecilnya sumbangan bukan masalah utama CSR. Corporate Social Responsibility (CSR) secara sederhana dapat diartikan bagaimana sebuah perusahaan mengelola proses usaha yang dijalankan untuk menghasilkan pengaruh positif di masyarakat. Corporate Social Responsibility (CSR) adalah memberi timbal balik usaha terhadap masyarakat. Corporate Social Responsibility (CSR) dapat dipahami sebagai komitmen usaha untuk bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi bersamaan dengan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya, komunitas lokal dan komunitas secara lebih luas. Dengan demikian, Corporate Social Responsibility (CSR) tidak hanya terbatas pada konsep pemberian donor saja, tapi konsepnya sangat luas dan tidak bersifat statis dan pasif, hanya dikeluarkan dari perusahaan, akan tetapi hak dan kewajiban yang dimiliki bersama antara stakeholders (pihak-pihak lain yang berkepentingan). Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) melibatkan tanggung jawab kemitraan antara pemerintah, lembaga sumberdaya komunitas, juga komunitas setempat (lokal).
Konsep Tanggung Jawab Sosial dan lingkungan atau corporate social responsibility (selanjutnya disebut CSR), telah disahkan oleh DPR tanggal 20 Juli 2007 dan diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT), yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 106 Tahun 2007 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756 Tahun 2007. Kempat ayat dalam Pasal 74 UU tersebut menetapkan kewajiban semua perusahaan dibidang sumber daya alam untuk melaksanakan Tanggung Jawab sosial dan lingkungan. CSR secara umum merupakan konstribusi menyelruh dari dunia usaha terhadap pembangunan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dari kegiatannya. Sudah menjadi fakta bagaimana resistensi masyarakat sekitar diberbagai tempat dan waktu muncul kepermukaan terhadap perusahaan yang dianggap tidak memeprhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidupnya. Banyak peusahaan telah diprotes, dicabut izin operasionalnya, bahkan dirusak oleh masyarakat sekitar lokasi perusahaan karena melakukan kerusakan lingkungan, dimana Perusahaan hanya mengeduk dan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di daerah tersebut, tanpa memperhatikan faktor lingkungan.  
Dalam perkembangannya, kegiatan CSR di Indonesia lebih banyak disorot dari sudut pandang peranannya dalam upaya memasarkan citra perusahaan karena kegiatan CSR dipandang mampu mengembangkan kualitas hidup masyarakat dan memunculkan citra perusahaan yang lebih positif di mata masyarakat. Citra yang positif ini memiliki manfaat lebih jauh, yakni manfaat ekonomis bagi perusahaan. Survei yang dilakukan majalah SWA terhadap 85 responden menunjukkan bahwa alasan konsumen memilih suatu brand seringkali bukan didasarkan atas kualitas dan harga brand tersebut, tetapi justru berdasarkan brand image yang dihasilkan dari keaktifan perusahaan dalam menghadapi isu-isu sosial (Palupi, 2006). Beberapa studi di negara lain juga menunjukkan hal yang sama. Rehbein, Waddock, dan Graves (2004) mengemukakan bahwa perusahaan yang mengaplikasikan CSR akan memiliki brand image lebih positif, yakni sebagai perusahaan yang peduli terhadap kebutuhan masyarakat. Citra positif ini akan diikuti dengan peningkatan jumlah konsumsi terhadap produk perusahaan. Hal ini dibuktikan oleh survei Booth-Harris Trust Monitor , yang menunjukkan mayoritas konsumen akan meninggalkan suatu produk dengan citra buruk atau pemberitaan negatif. Hasil survei Cone/Roper Executive Study juga menunjukkan hasil serupa, di mana lebih dari 50% masyarakat akan beralih konsumsi ke produk yang memiliki citra lebih positif dalam mendukung nilai-nilai positif di dalam masyarakat (Hidayati, 2006). Studi lain yang dilakukan oleh Jenkins dan Baker (2007) mengungkap bahwa investasi pada komunitas lokal di lingkungan pabrik Pfizer di Sandwich, Inggris, secara signifikan menambah reputasi eksternal perusahaan.
Awalnya kewajiban tanggung jawab sosial perusahaan diberlakukan untuk seluruh perseroan tanpa terkecuali, namun dalam proses pengesahan Rancangan Undang Undang No 40 Tahun 2007, timbul berbagai protes dari pihak pengusaha agar kiranya tanggung jawab sosial perusahaan tidak diberlakukan secara menyeluruh. Dari perspektif hukum tanggung jawab sosial perusahaan sebenarnya tidak hanya merupakan suatu langkah untuk meminimalisir dampak suatu industri terhadap masyarakat sekitar maupun lingkungan, namun merupakan suatu bentuk kepedulian perusahaan terhadap seluruh pemegang kepentingan (stakeholders). Konsep tanggung jawab social perusahaan sendiri adalah berakar dari tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), di mana hal ini dimulai dari penerapan aspek kepatuhan atas norma-norma hukum (norm), kemudian meningkat menjadi aturan pelaksanaan (code of conduct) yang lebih menekankan etika maupun perilaku dalam kegiatan usaha, dan berkembang menjadi suatu bentuk kepedulian dari pelaku usaha dalam rangka membina hubungan yang baik dengan para pemegang kepentingan (Reksodiputro, 2006).
            Indonesia memiliki keterbatasan modal dalam negeri dan minim akan penguasaan teknologi dan keterbatasan akses pasar, sehingga penanaman modal asing  sangat diperlukan. Penanaman modal asing dapat memperluas potensi negara tuan rumah untuk memproduksi barang setempat guna menggantikan barang impor dan meningkatkan pendapatan pajak, selain itu penanaman modal sebagai sarana pemulihan ekonomi dapat menjadi suatu hubungan ekonomi internasional, penanaman modal menjadi suatu tuntutan guna memenuhi kebutuhan suatu Negara, perusahaan dan masyarakat. Hubungan tersebut terjadi karena masing-masing pihak saling membutuhkan satu sama lain dalam memenuhi kebutuhan atau kepentingannya. Negara penerima modal (host country) membutuhkan sejumlah dana, teknologi, dan keahlian bagi kepentingan pembangunan dalam bentuk penanaman modal. Di pihak lain, investor sebagai penanam modal memerlukan bahan baku, tenaga kerja, sarana dan prasarana, pasar, jaminan keamanan, dan kepastian hukum untuk dapat lebih mengembangkan usaha dan memperbesar keuntungan yang dapat diperoleh.
            Dari pola perusahaan dalam melaksanakan CSR kepada komunitas. Pola sekedar memberikan donasi sosial atau membentuk kegiatan ekonomi bagi lingkungan di sekitar perusahaan tidaklah cukup. Maka sewajarnya perusahaan meninggalkan program dan kebijakan CSR yang sekedar memberikan layanan sosial yang paternalistis. Layanan paternalistis, walaupun diakui terkadang berguna dalam jangka pendek, pada akhirnya cenderung menimbulkan sikap ketergantungan. Perlu dilakukan pembangunan kapasitas bagi komunitas sehingga diharapkan masyarakat dapat mencari, menciptakan dan memanfaatkan peluang yang ada saat ini dan masa depan, karena pembangunan suatu daerah, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab bersama, dan CSR terkait dengan peran strategis dari korporasi dalam menunjang pembangunan yang berbasis pada keberlanjutan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, maka perusahaan memiliki tanggung jawab sosial terhadap keberadaan masyarakat di lingkungan sekitar perusahaan. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di lingkungan perusahaan akan sangat berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung bagi kegiatan perusahaan dan eksistensi perusahaan, sebab masyarakat merupakan penyedia tenaga kerja sekaligus sebagai pasar dari hasil produksi perusahaan.
            Masyarakat yang sejahtera dan memiliki kesetaraan sosial dan ekonomi akan mampu menyediakan tenaga kerja yang berkualitas dalam jumlah yang mencukupi. Pada saat yang sama, kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat tersebut akan meningkatkan daya beli masyarakat terhadap produk-produk yang dipasarkan perusahaan. Sekarang ini banyak perusahaan besar nasional maupun multinasional di Indonesia tidak hanya semata-mata meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dalam kegiatan bisnis yang mereka lakukan. Manajemen perusahaan menyadari perlunya memberikan kontribusi sebagai tanggung jawab sosial perusahaan kepada publik yang memerlukannya.Bentuk tanggung jawab sosial perusahaan ini, kini namanya sudah sangat familiar dan populer, yaitu Corporate Social Responsibility (CSR), dimana perusahaan selain membayar pajak dari hasil keuntungannya, juga memberi zakat dengan cara melakukan kegiatan CSR terhadap target publik. Jika dipandang dari segi moral hakikat manusia maupun hakikat kegiatan bisnis itu sendiri diyakini bahwa tidak benar kalau para manajer perusahaan hanya memiliki tanggung jawab dan kewajiban moral kepada pemegang saham. Para manajer perusahaan sebagai manusia dan sebagai manajer sekaligus mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral kepada banyak orang dan pihak lain yang berkaitan dengan kegiatan dan operasi bisnis perusahaan yang dipimpinnya. Para manajer perusahaan mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral untuk memperlihatkan hak dan kepentingan karyawan, konsumen, pemasok, penyalur, masyarakat setempat, dan seterusnya. Singkatnya tanggungjawab dan kewajibanmoral para manajer perusahaan tidak hanya tertuju pada shareholders (pemegang saham) tetapi juga pada stakeholders (pemangku kepentingan) pada umumnya.Berdasarkan uraian diatas maka penulisan ini bermaksud untuk membahas tentang “TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN DALAM DUNIA BISNIS”.

1.2 Rumusan Masalah
Dalam hal ini berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah Perkembangan Konsep CSR ?
2.      Bagaimanakah peranan perusahaan terhadap CSR ?

1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1.      untuk mengetahui perkembangan konsep CSR
2.      untuk mengetahui  peranan perusahaan terhadap CSR

BAB II
 TELAAH LITERATUR
2.1 Pengertian CSR
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersaman dengan peningkatan taraf hidup pekerja beserta keluarganya (Wibisono, 2007, h.7). Terdapat beberapa definisi lain mengenai CSR sebagaimana dipaparkan oleh Christine A Hemingway& Patrick W Maclagan dalam Journal of Business Ethics (2004, h. 33-44).
a)      Corporate Social Responsibility requires companies to acknowledge that they should be publicy accountable not only for their financial performance but also for their social and environmental record. More widely, CSR encompasses the extent to which companies should promote human rights, democracy, community improvement and sustainable development objectives throught the world. (The Confederation of British Industry)
b)       Identifies four components that need to be present in order for a business to claim it is socially responsible; economic, legal, ethical, philatrophic responsibilities (Caroll)
c)      Corporate social responsibility refers to managements inligation to set policies, make decisions and follow courses of action beyond the requirements of the law that desirable in terms of the values and objectives of society (Moseley)
d)      Corporate social responsibility may be viewed as a process in which managers take responsibility for identifying and accomodating the interest of those affected by the organizations actions (Maclagan)
e)      Socially responsible actions by a corporation are actions that; when judged by society in the future, are seen to have been of maximum help in providing necesssary amounts of desired goods and services at minimum financial and social cost, distributed as equability as possible (Farmer)

Dari sekian banyak definisi CSR, salah satu yang menggambarkan CSR di Indonesia adalah definisi Suharto (2006) yang menyatakan bahwa CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk membangun sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan. Dari definisi tersebut, dapat kita lihat bahwa salah satu aspek yang dalam pelaksanaan CSR adalah komitmen berkelanjutan dalam mensejahterakan komunitas lokal masyarakat sekitar.

2.2 Manfaat CSR
2.2.1 Manfaat CSR bagi Masyarakat
            Berikut ini adalah manfaat CSR bagi masyarakat:
1.      Meningkatknya kesejahteraan masyarakat sekitar dan kelestarian lingkungan.
2.      Adanya beasiswa untuk anak tidak mampu di daerah tersebut.
3.      Meningkatnya pemeliharaan fasilitas umum.
4.      Adanya pembangunan desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada.

2.2.2 Manfaat CSR bagi Perusahaan
Berikut ini adalah manfaat CSR bagi perusahaan:
1.      Meningkatkan citra perusahaan.
2.      Mengembangkan kerja sama dengan perusahaan lain.
3.      Memperkuat brand merk perusahaan dimata masyarakat.
4.      Membedakan perusahan tersebut dengan para pesaingnya.
5.      Memberikan inovasi bagi perusahaan

2.3 Tujuan Corporate Social Responsibility (CSR)

Tujuan adanya tanggung jawab sosial perusahaan:
1.      Meningkatkan Citra Perusahaan
Dengan melakukan kegiatan CSR, konsumen dapat lebih mengenal perusahaan sebagai perusahaan yang selalu melakukan kegiatan yang baik bagi masyarakat.
2.      Memperkuat “Brand” Perusahaan
Melalui kegiatan memberikan product knowledge kepada konsumen dengan cara membagikan produk secara gratis, dapat menimbulkan kesadaran konsumen akan keberadaan produk perusahaan sehingga dapat meningkatkan posisi brand perusahaan
3.      Mengembangkan Kerja Sama dengan Para Pemangku Kepentingan
Dalam melaksanakan kegiatan CSR, perusahaan tentunya tidak mampu mengerjakan sendiri, jadi harus dibantu dengan para pemangku kepentingan, seperti pemerintah daerah, masyarakat, dan universitas lokal. Maka perusahaan dapat membuka relasi yang baik dengan para pemangku kepentingan tersebut.
4.      Membedakan Perusahaan dengan Pesaingnya
Jika CSR dilakukan sendiri oleh perusahaan, perusahaan mempunyai kesempatan menonjolkan keunggulan komparatifnya sehingga dapat membedakannya dengan pesaing yang menawarkan produk atau jasa yang sama.
5.      Menghasilkan Inovasi dan Pembelajaran untuk Meningkatkan Pengaruh Perusahaan
Memilih kegiatan CSR yang sesuai dengan kegiatan utama perusahaan memerlukan kreativitas. Merencanakan CSR secara konsisten dan berkala dapat memicu inovasi dalam perusahaan yang pada akhirnya dapat meningkatkan peran dan posisi perusahaan dalam bisnis global.
6.      Membuka Akses untuk Investasi dan Pembiayaan bagi Perusahaan 
Para investor saat ini sudah mempunyai kesadaran akan pentingnya berinvestasi pada perusahaan yang telah melakukan CSR. Demikian juga penyedia dana, seperti perbankan, lebih memprioritaskan pemberian bantuan dana pada perusahaan yang melakukan CSR.
7.      Meningkatkan Harga Saham
Pada akhirnya jika perusahaan rutin melakukan CSR yang sesuai dengan bisnis utamanya dan melakukannya dengan konsisten dan rutin, masyarakat bisnis (investor, kreditur,dll), pemerintah, akademisi, maupun konsumen akan makin mengenal perusahaan. Maka permintaan terhadap saham perusahaan akan naik dan otomatis harga saham perusahaan juga akan meningkat.


2.4  Bidang-bidang Corporate Social Responsibility (CSR)
Para pelaku bisnis atau dunia bisnis dapat menerapkan tanggung jawab sosial terhadap pihak-pihak yang berkepentingan atau stakeholder organisasi, lingkungan alam, dan kesejahteraan sosial. Memang harus diakui bahwa beberapa organisasi usaha mengetahui tanggung jawab mereka di ketiga bidang tersebut dan berusaha dengan serius untuk mencapainya, sedangkan yang lain menekankan hanya pada satu atau dua bidang. Di samping itu, tidak sedikit yang sama sekali tidak tahu dan tak mau menanggapi tanggung jawab sosial tersebut.

·         Stakeholder Organisasi
Stakeholder organisasi adalah orang dan institusi yang dipengaruhi langsung oleh praktik organisasi tertentu dan memiliki kepentingan terhadap kinerja organisasi itu. Sebagian besar pelaku bisnis yang berjuang untuk bertanggung jawab terhadap stakeholder berkonsentrasi dan berfokus pada tiap komponen, yakni pelanggan, pegawai, dan investor. Barulah kemudian memilih stakeholder lain yang terkait atau penting bagi organisasi dan berusaha untuk mengenali kebutuhan dan asa mereka. Organisasi atau perusahaan yang bertanggung jawab sosial terhadap pelanggan, berusaha (1) memperlakukan mereka secara adil, jujur, dan bermartabat; (2) menawarkan produk yang bemutu dengan jaminan harga yang sesuai, aman terhadap kesehatan, dan keamanan mereka; (3) menghormati integritas dan kebudayaan mereka. Toyota, Dell Computer, Daimler, Chysler, dan Volkswagen adalah deretan perusahaan yang telah membangun reputasi luar biasa di bidang ini. Organisasi/perusahaan yang bertanggung jawab secara sosial terhadap pegawai yang merupakan aset yang amat berharga ini diwujudkan, antara lain dengan memperlakukan mereka secara adil (tidak diskriminatif), terbuka, bermartabat, tulus, menjadikan mereka sebagai bagian dari tim serta menghargai kebebasan dan kebutuhan dasar mereka, melindungi dari kecelakaan, gangguan kesehatan di tempat kerja. Di samping itu, juga mendorong dan membantu para pegawai untuk mengembangkan skill dan pengetahuan yang relevan dan dapat dipakai di tempat lain. Peka terhadap problem penggangguran yang serius dan bekerja sama dengan pemerintah, kelompok pekerja, lembaga lain dalam mengatasi masalah kehilangan pekerjaan ini. Dalam skala internasional pelaku bisnis seperti 3 M, Hoescht AG, Honda mempunyai reputasi yang tidak meragukan dalam soal ini. Bahkan, mereka telah melangkah lebih jauh lewat manuver elegan, yaitu menemukan, mengangkat, melatih, dan mempromosikan golongan minoritas. Untuk mengawal sikap tanggung jawab terhadap investor dilakukan melalui penerapan prosedur akuntansi yang benar, memberikan informasi yang cukup bagi pemegang saham tentang kondisi keuangan perusahaan, mengelola organisasi untuk mempratiksi hak pemegang saham dan investasi. Selain itu, menghindarkan diri dari aktivitas-aktivitas yang sensitif, seperti insider trading, manipulasi harga saham, atau dengan sengaja menahan data keuangan.

·         Lingkungan Alam
Bidang kedua yang tak kalah penting dalam tanggung jawab sosial adalah berkaitan dengan lingkungan alam. Beroperasinya suatu perusahaan apalagi yang sudah menggurita di berbagai sektor pasti akan memberi dampak terhadap lingkungan alam, terutama dampak negatifnya. Tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan alam ini diwujudkan dalam bentuk kepedulian terhadap masa depan bumi. Kepedulian ini bukantah cerminan kepentingan green consumerism semata-mata yang membela keamanan dan kenyamanan konsumen masa kini, tetapi untuk kepentingan generasi mendatang sebagai stakeholder atau moral patien. Sehubungan dengan itu, ketika beroperasi perusahaan harus sedapat mungkin menghindarkan diri dari kegiatan mencemari lingkungan (pollution) atau pengurasan sumber daya alam. Perusahaan secara terus menerus mengembangkan metode alternatif, baik dalam menangani kotoran, limbah berbahaya, maupun sampah biasa Anglo American adalah salah satu contoh perusahaan yang memberi atensi bagaimana suatu organisasi bisnis wajib mengelola dampak organisasi pada lingkungan alam. Raksasa perusahaan pertambangan Afrika Selatan ini saat membentuk usaha patungan dengan pemerintah Zambia untuk mengembangkan cadangan tembaga telah memakai konsep mengembalikan tanah yang telah dieksploitasi ke keadaan aslinya.

·         Kesejahteraan Sosial Umum
Semua organisasi pada hakikatnya merupakan sistem terbuka yang bergantung pada lingkungannya. Karena ketergantungan itu, maka setiap organisasi perlu memperhatikan pandangan dan harapan masyarakat. Semua organisasi harus tanggap terhadap kebutuhan masyarakat. lni berlaku pula untuk perusahaan. Tanggung jawab sosial telah menjadi isu yang penting karena masyarakat semakin besar asanya terhadap organisasi/perusahaan. Beberapa orang percaya bahwa untuk memperlakukan stakeholder dan lingkungan dengan penuh tanggung jawab, organisasi bisnis juga harus mendorong kesejahteraan umum masyarakat. Kemiskinan global dan pengakuan terhadap HAM adalah kegiatan yang sekarang sering diusung oleh perusahaan, terutama yang besar-besar terkait dengan tanggung jawab social terhadap kesejahteraan sosial umum.
  

BAB III
 PEMBAHASAN

3.1 Perkembangan Konsep Corporate Social Responsibility (CSR)
Sampai kini tidak ada definisi tunggal tentang CSR Berikut ini beberapa definisi CSR yang cukup berpengaruh dan sering dirujuk di antaranya definisi yang disampaikan oleh World Council for Sustainable Development, versi Bank Dunia, dan oleh Uni Eropa. World Council for Sustainable Development menyebut CSR sebagai "continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the work porce and their families as wells of the local community and society at large". Menurut Bank Dunia "CSR is the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with employees and their representatives, the local community and society at large to improve quality of life in ways that are both good for business and good for development “. Sementara versi Uni Eropa mengatakan "CSR is a concept where by companies integrate social and environmental concerns in their business
operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basis". Ricky W. Griffin dan Michael W. Pustay (2005) dalam bukunya International Business menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan adalah kumpulan kewajiban organisasi untuk melindungi dan memajukan masyarakat di mana organisasi berada. Bambang Wahyutomo (2003) mengatakan bahwa tanggung jawab sosial pelaku usaha adalah komitmen dan kemampuan dunia usaha untuk melaksanakan hak dan kewajiban sosial terhadap lingkungan sosialnya sebagai kerangka menciptakan masyarakat peduli (Caring Society) dan kemitraan.
Dari beberapa definisi di atas bila ditilik lebih jauh sebenarnya terkandung inti yang hampit sama, yakni selalu mengacu pada kenyataan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan merupakan bagian penting dari strategi bisnis yang berkaitan erat dengan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang. Di samping itu, apa yang dilakukan dalam implementasi dari tanggung jawab sosial tersebut tidak berdasarkan pada tekanan dari masyarakat, pemerintah,
atau pihak lain, tetapi berasal dari kehendak, komitmen, dan etika moral dunia bisnis sendiri yang tidak dipaksakan. Bertolak dari pemahaman ini Corporate Social Responsibility kemudian disebut juga sebagai Affirmative Corporate Social Responsibility. Di tengah pengertian yang beranekaragam tersebut, sejauh yang dapat diikuti konselor, konsep CSR yang banyak dijadikan rujukan oleh berbagai pihak menurut pemikiran Elkington, yakni tentang tnipel bottom line. Menurutnya, CSR adalah segitiga kehidupan stakeholder yang harus diberi atensi oleh korporasi di tengah upayanya mengejar keuntungan atau profit yaitu
ekonomi, lingkungan, dan sosial. Hubungan itu diilustrasikan dalam bentuk segitiga. Pendapat tentang CSR yang lebih komprehensif menurut Teguh S. Pambudi adalah dilontarkan oleh Prince of Wales International Business Forum lewat lima pilar. Pertama, building human capital, menyangkut kemampuan perusahaan untuk memiliki dukungan sumber daya manusia yang andal (internal). Di sini perusahaan dituntut melakukan pemberdayaan, biasanya melalui community development Kedua, strengthening economies: memberdayakan ekonomi komunitas. Ketiga, assessing social. Maksudnya perusahaan menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitar agar tak menimbulkan konflik. Keempat, encouraging good governance. Artinya perusahaan dikelola dalam tata pamong/birokrasi yang baik. Kelima, protecting the environment, yaitu perusahaan harus mengawal kelestarian lingkungan. Bertolak dari pemahaman di atas, ternyata CSR itu tidak saja bergerak di
wilayah eksternal perusahaan, tetapi juga di ruang internal. Bahkan, Gurvy Kavei, pakar manajemen Universitas Manchester, menyatakan bahwa CSR sejatinya dipraktikkan di tiga area: (1) di tempat kerja, seperti aspek keselamatan dan kesehatan kerja, pengembangan skill karyawan, dan kepemilikan saham; (2) di komunitas, antara lain dengan memberi beasiswa dan pemberdayaan ekonomi; (3) lingkungan, misalnya pelestarian lingkungan dan
proses produksi yang ramah lingkungan.

3.2 Peranan Perusahaan terhadap Tanggung Jawab Sosial
Sejauh yang dapat diketahui ada tiga cara perusahaan memandang CSR, yaitu sebagai berikut: Pertama, sebagai strategi perusahaan yang pada akhirnya mendatangkan keuntungan. Kedua, sebagai compliance (kewajiban) karena intinya ada hukum yang memaksa untuk menerapkannya. Ketiga, yang melakukan sebagai beyond compliance sebab perusahaan sebagai bagian dari suatu komoditas, yang kesadarannya bukan karena untuk kepentingan komestik atau PR, melainkan secara sadar karena dianggap sebagai sesuatu yang penting. Bila diamati dengan cermat, sebagaimana yang diungkap oleh D. Grayson dan A. Hodges dalam bukunya Everybody's Bussiness tekanan untuk melaksanakan CSR kini kian menguat. Menurut mereka, setidaknya ada 2.000 lebih perusahaan di dunia yang senantiasa melaporkan secara rutin dampak aktivitas perusahaan mereka terhadap kehidupan sosial dan lingkungan. Sosial Lingkungan Ekonomi Bahkan, karena pentingnya, tak sedikit dari perusahaan yang masuk Fortun 500 yang mendesain departemen sendiri di bawah seorang manajer yang didedikasikan secara khusus untuk mengelola CSR secara terorganisasi. Pada sudut yang lain CSR ada kecenderungan untuk dijadikan sebagai salah satu syarat dalam berbisnis. Dalam jagat pasar modal dunia CSR kian seksi. New York Stock Exchange, misalnya, sekarang telah memilih Dow Jones Sustainability untuk aneka saham perusahaan yang dikategorikan mempunyai nilai CSR yang baik dan ini telah dipraktikkan sejak tahun 1999.


BAB IV
 KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan

Dalam penulisan ini dapat disimpulkan bahwa CSR merupakan tanggung jawab sosial dari perusahaan pada dasarnya memiliki konsep dengan visi yang sama yang untuk pembangunan yang berkelanjutan. Konsep yang dikembangkan disesuiakan dengan dimensi-dimensi yang ingin diterapakan oleh perusahaan. berbicara tentang visi keberlanjutan dari CSR, hal ini berkaitan dengan proses-proses yang menjadi tahapan yang harus dilewati oleh perusahaan.Tanggung jawab social perusahaan dalam dunia bisnis dipengaruhi oleh berbagai kekuatan, yaitu norma sosial dan budaya, hukum serta regulasi, praktik dan budaya organisasi. Jadi, boleh dikatakan dia terbentuk karena dorongan kemanfaatan, moralitas, dan keadilan. Etika dalam berbisnis adalah mutlak dilakukan. Maju mundurnya bisnis yang dijalankan adalah tergantung dari pelaku bisnis itu sendiri. Apa yang dia perbuat dengan konsekuensi apa yang akan dia peroleh sudah sangat jelas.
  
DAFTAR PUSTAKA

Suparman 2013, “CSR : Bentuk Tanggung Jawab Sosial Dan Kepedulian Perusahaan Dengan Masyarakat” Jurnal Interaksi Vol.II No.2

Hamdani Anwar & I Gusti Putu Diva Awatara 2016, “Pengaruh Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Terhadap Komitmen Organisasi Dan Kinerja Karyawan” JAM Vol.14 No.2

Sarwono 2010, “Bisnis Dan Tanggung Jawab Sosial” Jurnal Inovasi Pertanian Vol.9 No.1

Triastity Rahayu 2010, “Bisnis Dan Tanggung Jawab Sosial” Jurnal Ekonomi Dan Kewirausahaan Vol.10 No.1