PERBEDAAN
GENDER DALAM BISNIS
Disusun Oleh :
Nama : Irsandy Hafizh
Kelas : 3EA28
NPM : 15214471
Dosen : Rowland Bismark F.P
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS GUNADARMA
UNIVERSITAS GUNADARMA
JAKARTA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Di
era globalisasi saat ini, persaingan menjadi semakin ketat dan hanya mereka
yang siap dan mempunyai bekal serta sikap profesionalisme yang memadai saja
yang dapat tumbuh dan bertahan. Setiap profesi dituntut untuk bekerja secara
profesional. Kemampuan dan keahlian khusus yang dimiliki oleh suatu profesi
adalah suatu keharusan agar profesi tersebut mampu bersaing di dunia usaha
sekarang ini. Namun, selain kemampuan dan keahlian khusus, suatu profesi harus
memiliki etika yang merupakan aturan-aturan khusus yang harus ditaati oleh
pihak yang menjalankan profesi tersebut. Setiap profesi membutuhkan pengetahuan
dan keahlian khusus, dan setiap profesional diharapkan memiliki kualitas
personal tertentu. Setiap individu itu unik. Tidak ada dua orang yang persis
sama. Meski ada kesamaan dan kemiripan secara fisik, namun karakter atau
kepribadian maupun perilakunya tidaklah sama. Perbedaan-perbedaan individual
yang ada bukanlah hal yang mengejutkan. Perbedaan-perbedaan itu meliputi
berbagai aspek, di antaranya terkait dengan sikap, perspesi dan kemampuan.
Seseorang bisa dipengaruhi oleh orang lain, situasi, kebutuhan, dan pengalaman
masa lalu. Studi mengenai perbedaan individual seperti sikap, persepsi, dan
kemampuan dapat membantu seorang manajer dalam suatu organisasi untuk
menjelaskan perbedaan-perbedaan dalam tingkat kinerja karyawan (Gibson et al.,
2003).
Keberagaman
komposisi Dewan Komisaris dan Dewan Direksi dapat diklasifikasikan dari segi
usia, etnis, dan jenis kelamin. Selain itu juga terdapat keberagaman dalam hal
kepemilikan, pengalaman, latar belakang pendidikan, dan status sosial ekonomi
(Jackson dan Alvarez, 1992; Sessa dan Jackson, 1995). Dengan mengidentifkasi
keberagaman dari kelompok minoritas, baik perempuan maupun etnis minoritas,
kita dapat menguji apakah dengan ada atau tidak adanya kelompok minoritas
tesebut dapat mempengaruhi performa perusahaan, baik dari segi tata kelola
perusahaan, tanggung jawab sosial perusahaan, inovasi, serta strategi
perusahaan. Hal ini mengacu pada hasil penelitian dari para ahli sebelumnya
yang telah melakukan upaya-upaya untuk menghubungkan keberagaman dengan aspek
yang berbeda dalam perusahaan, seperti perubahan strategis perusahaan
(Goodstein et al, 1994;. Wiersema dan Bantel, 1992), inovasi organisasi (Bantel
dan Jackson, 1989), tata kelola perusahaan (Adams dan Ferreira, 2009), dan
tanggung jawab sosial perusahaan (Coffey dan Wang, 1998; Williams, 2003).
Berdasarkan penelitian sebelumnya, sekarang ini mulai terjadi peningkatan
jumlah perempuan pada Dewan Komisaris dan Direksi di berbagai negara. Rose (2007)
melaporkan bahwa terdapat keinginan untuk meningkatan peran perempuan pada
anggota dewan secara signifikan. Norwegia telah memiliki hukum yang
mengharuskan 40% dari anggota dewan adalah perempuan.
(Rose, 2007). Sedangkan di Spanyol juga baru saja mengeluarkan undang-undang
terkait kuota untuk jumlah anggota dewan perempuan (Adams & Ferreira,
2009).
Di
Indonesia, berdasarkan hasil studi Centre for Governance, Institutions and
Organisations (CGIO) National Singapore University Business School (2012),
persentase perempuan pada Dewan Komisaris dan Dewan Direksi perusahaan publik
yang terdaftar di Indonesia Stock Exchange (IDX) sebesar 11,6%. Dari nilai
tersebut, sebesar 34% dewan perusahaan hanya memiliki satu wanita pada anggota
dewan dan hanya 2,8% yang memiliki empat atau lebih perempuan anggota dewan.
Perusahaan-perusahaan terbaik memiliki lima atau lebih anggota dewan perempuan
diantaranya Tempo Scan Pacific Tbk, Bank CIMB Niaga Tbk, Bank Internasional
Indonesia Tbk, Ciputra Surya Tbk, dan Mitra Adiperkasa Tbk. Jika dibandingkan
dengan negara lainnya, nilai 11,6% lebih rendah dari Eropa (17%), Amerika Utara
(16,1%) dan Australia (13,8%); namun lebih baik jika dibandingkan dengan
rata-rata pasar negara berkembang lainnya sebesar 7,2%. Posisi Indonesia juga
memimpin negara Asia lainnya, seperti Jepang (1,1%), Hongkong (10,3%), Malaysia
(7,3%) dan Singapore (7,3%). Berdasarkan keterangan
diatas terlihat jelas bahwa terdapat indikasi peningkatan pada jumlah anggota
dewan perempuan di perusahaan berbagai macam negara, tidak terkecuali di
Indonesia. Namun, apakah dengan meningkatnya jumlah perempuan pada Dewan
Komisaris dan Dewan Direktur suatu perusahaan dapat meningkatkan performa
perusahaan?
Pada jurnal Carter et al (2010)
disebutkan bahwa keberagaman gender memiliki pengaruh terhadap kinerja
perusahaan. Teori yang mendukung pernyataan tersebut adalah Resource
Dependency Theory dan Human Capital Theory. Namun berdasarkan uji
hipotesa yang dilakukan oleh Carter et al (2010), keberagaman gender tidak
memiliki pengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan. Hal ini berdasarkan
analisis regresi hasil perhitungan kinerja keuangan dengan menggunakan Tobin‟S
Q dan Return On Assets Tobin‟s Q menghitung kinerja keuangan perusahaan
dari sisi kekayaan perusahaan, sedangkan ROA menghitung kinerja keuangan
perusahaan dari sisi pendapatan. Hasilnya diperoleh bahwa tidak ada hubungan
baik positif ataupun negatif antara keberagaman gender dan kinerja
keuangan perusahaan. Sedangkan pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Darmadi
(2010) bahwa proposi perempuan pada tingkat eksekutif memiliki hubungan negatif
terhadap total aset. Maka, disimpulkan bahwa proposi perempuan yang tinggi pada
tingkat dewan perusahaan umumnya terjadi pada perusahaan kecil yang
berorientasi perusahaan keluarga. Terdapat kemungkinan bahwa perempuan dapat
memegang kursi dewan perusahaan dikarenakan ikatan keluarga atau sebagai
pemegang saham kendali. Oleh karena itu perusahaan-perusahaan yang besar
dianggap lebih sulit bagi perempuan untuk memperoleh kesempatan di kursi dewan
perusahaan.
Karyawan yang satu berbeda dengan
yang karyawan yang lain dalam banyak
hal.
Seorang manajer perlu mengetahui bagaimana perbedaan seperti itu dapat
mempengaruhi perilaku dan kinerja bawahannya. Perbedaan-perbedaan individual
bisa saja membuat seorang individu itu berkinerja dengan lebih baik daripada
individu lainnya. Perbedaan individual tidak lepas dari pengaruh lingkungan
seperti pekerjaan, keluarga, komunitas dan masyarakat. Isu mengenai individual
behavior and differences ini sangat penting dalam membahas masalah
perilaku organisasi. Karyawan yang bergabung dalam sebuah organisasi harus
menyesuaikan diri pada sebuah lingkungan baru, orang-orang baru, dan
tugas-tugas baru. Bagaimana seseorang menyesuaikan dirinya dengan situasi dan
orang lain utamanya tergantung pada kesiapan psikologisnya dan latar belakang
personal. Beberapa wanita lebih baik dalam menjadi salespeople daripada
beberapa pria. Sebaliknya, beberapa pria lebih baik dalam menjadi pemberi
perhatian daripada beberapa wanita. Pencarian kemiripan dan perbedaan dalam
gender tampaknya terus berlanjut karena mayoritas penelitian berbasis
organisasi telah dilakukan dengan menggunakan sampel pria (Gibson et al.,2003).
Dalam
pembangunan pemberdayaan perempuan yang terjadi selama ini permasalahan
mendasar yang masih dialami adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam
pembangunan, di samping masih adanya berbagai bentuk praktik diskriminasi
terhadap perempuan. Rendahnya kualitas hidup perempuan terjadi di berbagai lini,
antara lain sosial budaya, lingkungan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan
politik. Selama satu dekade terakhir, partisipasi perempuan di pasar tenaga
kerja mengalami peningkatan yang cukup nyata, meskipun prosentasenya kecil jika
dibandingkan dengan laki-laki. Perubahan ini menunjukkan adanya peningkatan
peran perempuan yang sangat berarti dalam kegiatan ekonomi di Indonesia. Namun
demikian, struktur angkatan kerja perempuan memiliki tingkat pendidikan yang
rendah. Dengan demikian, sebagian besar perempuan masih berkiprah di sektor
informal atau pekerjaan yang tidak memerlukan kualitas pengetahuan dan
keterampilan canggih atau spesifik. Dalam perspektif gender, proporsi tenaga
kerja perempuan dan laki-laki di sektor informal adalah 40% perempuan, dan 60% laki-laki.
Proporsi tenaga kerja perempuan di sektor informal ini mencakup 70% dari
keseluruhan tenaga kerja perempuan.
Pekerjaan perempuan di sektor
informal biasanya kurang memberikan jaminan perlindungan secara hukum dan
jaminan kesejahteraan yang memadai, di samping kondisi kerja yang
memprihatinkan serta pendapatan yang rendah. Namun demikian, meski perempuan
mendapat upah hanya 70% dibandingkan laki-laki, tetapi perempuan telah
mengambil porsi 45% dari seluruh partisipasi angkatan kerja. Dalam area pertanian,
perempuan mengalami porsi 48,65%, perdagangan perempuan mengambil porsi 23,44%.
Sementara
dalam area industri, tenaga kerja perempuan meliputi 13,44% dan jasa 12,24%.
Pada aspek pertanian, di mana kebanyakan kaum perempuan menjadi tenaga kerja
tanpa upah karena merupakan usaha keluarga sebanyak 80%. Dari data tersebut,
dapat dilihat betapa perempuan kurang mendapat akses dan keadilan dalam bidang
ekonomi. Perempuan masih banyak melakukan pekerjaan di sektor informal yang
tidak memerlukan keahlian dan keterampilan, dan tentunya ini berimplikasi pada
perlindungan hukum yang kurang, penerimaan upah yang tidak memadai, belum lagi
beban ganda yang dirasakan. Tulisan ini akan memaparkan tentang diskriminasi
gender terhadap perempuan dalam sektor pekerjaan yang mencakup pembagian kerja
dalam lintasan sejarah, faktor-faktor yang menyebabkan diskriminasi, serta
kaitannya dengan kesetaraan dan keadilan.
Gender
merupakan isu yang sedang berkembang dalam dunia pekerjaan. Perbedaan gender
dalam bekerja merupakan hal yang menjadi perhatian saat ini. Beban tugas dan
peran yang berbeda antara karyawan perempuan dan laki-laki sering membuat
kesenjangan yang mengakibatkan ketidaknyamanan antara karyawan perempuan maupun
laki-laki. Terkadang pada perusahaan tertentu sering terjadi perlakuan yang
berbeda antara karyawan laki-laki dengan karyawan perempuan. Perusahaan menilai
karyawan laki-laki lebih memiliki perilaku kerja yang cekatan. Karena fisik
yang lebih kuat dari karyawan perempuan, ataupun karyawan perempuan yang lebih
bijaksana mengambil keputusan dengan pemikiran yang penuh pertimbangan dan
memakai perasaan. Masalah mengenai gender dalam perusahaan yaitu karyawan
perempuan merasakan mentalnya menurun saat mendapat tuntutan pekerjaan,
karyawan perempuan disamping memiliki tugas dalam pekerjaannya tetapi memiliki
tugas juga sebagai ibu rumah tangga.
Partisipasi
perempuan saat ini, bukan sekedar menuntut persamaan hak tetapi juga menyatakan
fungsinya mempunyai arti bagi pembangunan dalam masyarakat Indonesia. Melihat
potensi perempuan sebagai sumber daya manusia maka upaya menyertakan perempuan
dalam proses pembangunan bukan hanya merupakan perikemanusiaan belaka, tetapi
merupakan tindakan efisien karena tanpa mengikut sertakan perempuan dalam
proses pembangunan berarti pemborosan dan memberi pengaruh negatif terhadap
lajunya pertumbuhan ekonomi (Pudjiwati, 1983). Partisipasi perempuan menyangkut
peran tradisi dan transisi. Peran tradisi atau domestik mencakup peran
perempuan sebagai istri, ibu dan pengelola rumah tangga. Sementara peran
transisi meliputi pengertian perempuan sebagai tenaga kerja, anggota masyarakat
dan manusia pembangunan. Pada peran transisi wanita sebagai tenaga kerja turut
aktif dalam kegiatan ekonomis (mencari nafkah) di berbagai kegiatan sesuai
dengan ketrampilan dan pendidikan yang dimiliki serta lapangan pekerjaan yang
tersedia (Sukesi, 1991). Nampaknya sebagian besar masyarakat Indonesia sepakat
bahwa peranan perempuan tidak bisa dipisahkan dengan peran dan kedudukan mereka
dalam keluarga. Mengingat di masa lalu, perempuan lebih banyak terkungkung
dalam peran sebagai pendamping suami dan pengasuh anak. Namun seiring dengan
kemajuan ekonomi dan meningkatnya pendidikan wanita maka banyak ibu rumah
tangga dewasa ini yang tidak hanya berfungsi sebagai manajer rumah tangga,
tetapi juga ikut berkarya di luar rumah.
Pembagian
kerja laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada aktivitas fisik yang
dilakukan, di mana perempua bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga,
sedangkan laki-laki bertanggung jawab atas pekerjaan nafkah. Pekerjaan rumah
tangga tidak dinilai sebagai pekerjaan karena alasan ekonomi semata dan
akibatnya pelakunya tidak dinilai bekerja. Permasalahan yang muncul kemudian
adalah pekerjaan rumah tangga sebagai bagian dari pekerjaan non produksi tidak
menghasilkan uang, sedangkan pekerjaan produksi (publik) berhubungan dengan
uang. Uang berarti kekuasaan, berarti akses yang besar ke sumbersumsber
produksi, berarti status yang tinggi dalam masyarakat. Dalam perkembangan
budaya, konsep tersebut di atas berakar kuat dalam adat istiadat yang kadang
kala membelenggu perkembangan seseorang. Pantang keluar rumah, seorang anak
perempuan harus mengalah untuk tidak melanjutkan sekolah, harus menerima upah
yang lebih rendah, harus bekerja keras sambil menggendong anak, hanya karena
dia perempuan (Keppi Sukesi, 1991). Ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan
akan memunculkan persepsi bahwa perempuan dilahirkan untuk melakukan pekerjaan
yang jauh lebih terbatas jumlahnya dengan status pekerjaan rendah pula. Di
negara berkembang, tingkat pendidikan yang sangat rendah dengan ketrampilan
rendah pula, memaksa perempuan memasuki sektor informal yang sangat
eksploitatif dengan gaji sangat rendah, jam kerja yang tak menentudan panjang,
tidak ada cuti dengan bayaran penuh serta keunntungan –keuntungan lainnya
(Syamsiah Achmad, 1995).
Pemerintah
Indonesia telah menetapkan beberapa peraturan tentang ketenagakerjaan agar
tidak ada diskriminasi terhadap pekerja laki-laki maupun perempuan, seperti
pemerintah telah meratifikasi Convention of Elimination All Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW) menjadi Undang-Undang No. 7 Tahun 1984
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Terutama
yang tertuang dalam Pasal 11 Ayat 1 mengenai ketenagakerjaan yang harus
diperhatikan oleh pihak manajerial pabrik. Pemerintah juga telah menetapkan
Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 25 Tahun 1997, terutama Bab VII yang mengatur
perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan pekerja. Selain itu, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan di Indonesia telah mengusung program Kesetaraan dan
Keadilan Gender (KKG) untuk menghapus segala bentuk diskriminasi baik terhadap
laki-laki maupun perempuan. Kesetaraan 3 dan Keadilan Gender juga merupakan
salah satu tujuan pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Terwujudnya
kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara
perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan
berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang
setara dan adil dari pembangunan.
Bisnis selalu dikaitakan dengan
keuntungan yang akan diperoleh pelaku bisnis baik materi maupun non materi.
Selain mendapatkan keuntungan, bisnis juga dapat menimbulkan kerugian. Jika
terjadi kerugian maka pelaku bisnis harus bertindak adil dalam menyelesaikan
masalah tersebut. Keadilan menyangkut beberapa pihak yang dirugikan.Masalah
keadilan berkaitan secara timbal balik dengan kegiatan bisnis, khususnya bisnis
yang baik dan etis. Di satu pihak terwujudnya keadilan dalam masyarakat akan
melahirkan kondisi yang baik bagi kelangsungan bisnis yang baik dan sehat.
Praktek bisnis yang baik, etis, dan adil, akan ikut mewujudkan keadilan
masyarakat. Sebaliknya, ketidakadilan yang merajalela akan menimbulkan gejolak
sosial yang meresahkan para pelaku bisnis. Berdasarkan
uraian diatas maka penulisan ini bermaksud untuk membahas tentang “PERBEDAAN
GENDER DALAM BISNIS”.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam
hal ini berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah
Perbedaan Gender di dalam bisnis ?
2. Bagaimanakah
contoh kasus tentang permasalahan Gender
dan upaya penyelesaiannya?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini
adalah sebagai berikut :
1. untuk
mengetahui Perbedaan Gender dalam bisnis
2. untuk
mengetahui contoh kasus tentang permasalahan Gender dan upaya penyelesaiannya
BAB II
TELAAH LITERATUR
2.1 Pengertian Gender
Disadari
bahwa isu gender merupakan isu baru bagi masyarakat, sehingga menimbulkan
berbagi tafsiran dan respons yang tidak proposional tentang gender. Salah satu
faktor yang mempengaruhinya adalah bermacam-macamnya tafsiran tentang
pengertian gender. Istilah gender menurut Oakley (1972) berarti perbedaan atau jenis
kelamin yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Sedangkan menurut Caplan
(1987) menegaskan bahwa gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki
dan perempuan selain dari struktur biologis, sebagian besar justru terbentuk
melalui proses sosial dan cultural. Gender dalam ilmu sosial diartikan sebagai
pola relasi lelaki dan perempuan yang didasarkan pada ciri sosial masing-
masing (Zainuddin, 2006: 1). Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapan
budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and
men). Sedangkan Linda L. Lindsey menganggap bahwa semua ketetapan masyarakat
perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki dan perempuan adalah termasuk
bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminim is a
component of gender). H. T. Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk
menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan
kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Elaine Showalter
menyebutkan bahwa gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan
dilihat dari konstruksi sosial-budaya (Nasaruddin Umar, 2010: 30). Adapun
istilah-istilah yang berkaitan dengan gender sebagaimana yang disampaikan dalam
materi Workshop oleh Tim Gender Direktorat SMP adalah sebagai berikut:
1.
Pengarusutamaan Gender
Pengarusutamaan gender adalah strategi yang
digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia
dalam mengakses dan mendapatkan manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi
dan mengontrol proses pembangunan.
2.
Kesetaraan
Gender
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi
laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia,
agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi,
sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas)
serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Terwujudnya kesetaraan gender
ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan
dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, kontrol atas
pembangunan dan memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Adapun indikator kesetaraan gender adalah sebagai berikut:
a.
Akses
Yang dimaksud dengan aspek akses adalah peluang atau
kesempatan dalam memperoleh atau menggunakan sumber daya tertentu.
Mempertimbangkan bagaimana memperoleh akses yang adil dan setara antara
perempuan dan laki-laki, anak perempuan dan laki-laki terhadap sumberdaya yang
akan dibuat. Sebagai contoh dalam hal pendidikan bagi guru adalah akses memperoleh
beasiswa melanjutkan pendidikan untuk guru perempuan dan laki-laki diberikan
secara adil dan setara atau tidak.
b.
Partisipasi
Aspek partisipasi merupakan keikutsertaan atau
partisipasi seseorang atau kelompok dalam kegiatan dan atau dalam pengambilan
keputusan. Dalam hal ini guru perempuan dan laki-laki apakah memiliki peran
yang sama dalam pengambilan keputusan di sekolah atau tidak.
c.
Kontrol
Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau
kekuatan untuk mengambil keputusan. Dalam hal ini apakah pemegang jabatan
sekolah sebagai pengambil keputusan didominasi oleh gender tertentu atau tidak.
d.
Manfaat
Manfaat adalah kegunaan yang dapat dinikmati secara optimal.
Keputusan yang diambil oleh sekolah memberikan manfaat yang adil dan setara bagi
perempuan dan laki-laki atau tidak.
3.
Keadilan
Gender
Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan
adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada
pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap
perempuan maupun laki-laki.
4.
Kesenjangan
Gender
Dikatakan
terjadi kesenjangan gender apabila salah satu jenis kelamin berada dalam keadaan tertinggal dibandingkan jenis kelamin lainnya (L>P atau L<P).
2.2
Pengertian Bisnis
Bisnis adalah suatu organisasi yang
menjual barang atau jasa kepada konsumen untuk mendapatkan laba.
Secara historis kata bisnis dari bahasa inggris (business), dari kata
dasar busy yang berarti "sibuk" dalam konteks
individu, komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan
aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan. Dalam ekonomi kapitalis,
dimana kebanyakan bisnis dimiliki oleh pihak swasta, bisnis dibentuk untuk
mendapatkan profit dan meningkatkan kemakmuran para pemiliknya. Pemilik dan
operator dari sebuah bisnis mendapatkan imbalan sesuai dengan waktu, usaha,
atau kapital yang mereka berikan. Namun tidak semua bisnis mengejar
keuntungan seperti ini, misalnya bisnis koperatif yang bertujuan meningkatkan
kesejahteraan semua anggotanya atau institusi pemerintah yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Model bisnis seperti ini kontras dengan
sistem sosialistik, dimana bisnis besar kebanyakan dimiliki oleh pemerintah,
masyarakat umum, atau serikat pekerja.
Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang
atau sekelompok orang sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan.
Kata "bisnis" sendiri memiliki tiga penggunaan, tergantung skupnya —
penggunaan singular kata bisnis dapat merujuk pada badan usaha, yaitu
kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan ekonomis yang bertujuan mencari laba atau
keuntungan. Penggunaan yang lebih luas dapat merujuk pada sektor pasar
tertentu, misalnya "bisnis pertelevisian." Penggunaan yang paling
luas merujuk pada seluruh aktivitas yang dilakukan oleh komunitas penyedia
barang dan jasa. Namun definisi "bisnis" yang tepat masih menjadi bahan
perdebatan hingga saat ini.
2.3 Bentuk
Kepemilikan Bisnis
Meskipun
bentuk kepemilikan bisnis berbeda-beda pada setiap negara, ada beberapa bentuk
yang dianggap umum:
Perusahaan perseorangan: Perusahaan
perseorangan adalah bisnis yang kepemilikannya dipegang oleh satu
orang. Pemilik perusahaan perseorangan memiliki tanggung jawab tak terbatas
atas harta perusahaan. Artinya, apabila bisnis mengalami kerugian, pemilik lah
yang harus menanggung seluruh kerugian itu.
Persekutuan: Persekutuan adalah bentuk
bisnis dimana dua orang atau lebih bekerja sama mengoperasikan perusahaan untuk
mendapatkan profit. Sama seperti perusahaan perseorangan, setiap sekutu (anggota
persekutuan) memiliki tanggung jawab tak terbatas atas harta perusahaan.
Persekutuan dapat dikelompokkan menjadi persekutuan komanditer dan firma.
Perseroan: Perseroan
adalah bisnis yang kepemilikannya dipegang oleh beberapa orang dan diawasi oleh
dewan
direktur. Setiap pemilik memiliki tanggung jawab yang terbatas atas
harta perusahaan.
Koperasi: adalah bisnis yang beranggotakan
orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasarkan asas kekeluargaan. Koperasi bertujuan untuk menyejahterakan
anggotanya. Karateristik utama koperasi yang membedakan dengan badan usaha lain
adalah anggota koperasi memiliki identitas ganda. Identitas ganda maksudnya anggota
koperasi merupakan pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.
2.4 Perkembangan Bisnis Di
Indonesia
Saat ini di Indonesia pesat
sekali dalam perkembangan bisnis. Banyak pengembangan bisnis muncul dari bisnis
kecil hingga bisnis yang mendunia, dari bisnis offline hingga bisnis online.
Hal tersebut sangat mengangumkan sekali bagi bangsa Indonesia. Dalam
perkembangan bisnis offline Indonesia bisa disebut merupakan prospek pasar yang
cerah bagi para investor. Terutama invstor dalam negeri. Karena setiap sudut di
negara kita ini bisa menghasilkan uang. Sudah banyak para pebisnis sukses
Indonesia yang berhasil. Kita liat saja seperti Tung Desem Waringin, Abdurizal
Bakrie dll. Itu merupakan beberapa contoh betapa besarnya geliat bisnis di
negeri kita ini. Dan juga bisnis di Indonesia sudah mulai dilirik oleh pasar
luas yaitu pasar asing. Para investor luarpun berlomba-lomba untuk menanamkan
modalnya di Indonesia. Itu merupakan apresiasi yang bagus dari para investor
dan menandakan bahwa Indonesia mulai dipercaya untuk menjadi tempat penanaman
modal. Bisnis online pun saat ini tidak kalah pentingnya. Meskipun dibilang
agak tertinggal dari bisnis offline tetapi bisnis online terus mengejarnya. Di
pasar internasional Indonesia merupakan salah satu pelaku yang diakui dalam
bisnis online. Itu terbukti dengan banyaknya para pengguna internet dari
Indonesia yang menggunakan “ebuy” yang merupakan salah satu situs jual beli
berskala internasional. Meskipun belum mendapat kepercayaan tinggi di bidang
bisnis online. Indonesia tetap menggeliat dalam berbisnis online. Dan secara
bertahap pasar internasional mulai mempercayai Indonesia. Itu ditandai dengan
datangnya web-web besar seperti paypal, skype, yahoo ke Indonesia. Mereka
berbondong-bondong ke Indonesia untuk memanfaatkan pasar Indonesia. Dari
beberapa hal diatas dapat disimpulkan bahwa geliat bisnis Indonesia di pasar
Internasional sangat bagus. Animo masyarakat tentang bisnis berskala
internasional mulai terbuka. Dan dengan itu sebuah web di Indonesia menyediakan
sebuah layanan jejaring untuk meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan kepada
sesama pebisnis. Layanan ini sangat bagus untuk membantu sesama pebisnis dalam
kebersamaan. Karena jejaring sosial yang konsen terhadap bisnis Indonesia ini
sangat mendukung perkembangan Indonesia.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Perbedaan Gender Dalam Bisnis
Dalam
hal ini akan menjalaskan tentang perbedaan Pria & Wanita di dalam berbisnis
atau bekerja yaitu :
1. Cara
Berpikir.
Pola pikir pria
cenderung didasari pada fakta, sementara wanita cenderung pada konsep dan
jalinan hubungan. Semangat wanita sama halnya dengan sistem kereta api bawah
tanah, yaitu saling berhubungan, sedangkan semangat pria seperti kapal di atas
lautan yang berlayar dari titik A menuju titik B.
2. Cara
Memerintah.
Pria cenderung
lebih tegas, sementara wanita lebih halus tetapi dengan penekanan di akhir
kalimat. Di satu sisi mereka berusaha mempertahankan keharmonisan, tetapi di
sisi lain mereka memberi penekanan seperti kata-kata yang diucapkan di akhir
kalimat seperti, "Kamu bisa, kan?"
3. Pemilahan.
Pria dapat bekerja
sama dengan orang yang tidak disukainya. Wanita pada umumnya sulit untuk dapat
bekerja sama dengan orang yang tidak disukainya. Hal ini dikarenakan pria dapat
memilah-milah, "Pekerjaan, ya, pekerjaan." Sebaliknya, wanita dalam
melakukan sesuatu selalu menghubungkan hal satu dan lainnya.
4. Mengekspresikan Perasaan.
Bila seorang pria
ingin mengutarakan perasaannya, mereka akan membicarakannya kepada istri atau
kekasihnya. Paling tidak, pada orang terdekatnya. Sementara wanita dapat
mengutarakan perasaannya kepada siapa saja, tidak selalu kepada orang yang
dekat dengannya, baik kepada teman sekerja ataupun kepada sesama wanita.
5. Pendekatan.
Saat ada masalah
saat menghadapi masalah, pria akan berpikir untuk mencari jalan keluarnya. Bagi
wanita, tidak cukup hanya dengan memikirkan permasalahan yang dihadapi. Wanita
memerlukan seseorang untuk mendengarkan keluhannya walaupun orang tersebut
tidak selalu harus memberi solusi. Pria memerlukan solusi. Pria senang
memecahkan permasalahan, tidak hanya membicarakannya.
6. Tujuan.
Baik pria maupun
wanita ingin mencapai tujuannya, tetapi masing-masing punya cara yang berbeda.
Pria cenderung memfokuskan hasil akhir dan tertarik pada cara pencapaian usaha.
Wanita lebih memfokuskan pada pencapaian sasaran dan cenderung untuk
mempertimbangkan penilaian orang lain. Bila di dalam suatu rapat terdapat dua
orang pria yang saling berdebat dengan serunya, maka hal itu tidak berarti
mereka saling membenci.
7. Komentar
Pria dapat
memberikan komentar secara terus terang dan memotong pembicaraan orang lain
bila ingin berkomentar, sementara wanita cenderung lebih peka dan berhati-hati.
Oleh karena itu, bila Anda meminta pendapat kepada rekan pria, mereka akan
langsung memberikan pendapatnya. Bila Anda tidak suka dan marah pada kejujuran
mereka, sulit bagi mereka untuk dapat mengerti reaksi Anda. Jangan lupa,
pendapat yang mereka berikan memang merupakan pendapat yang bukan ditujukan
kepada pribadi karena pada dasarnya mereka tidak bermaksud untuk menyerang
secara pribadi.
8. Mengajukan
Pertanyaan
Pria jarang
mengajukan pertanyaan. Dan bila mereka bertanya, biasanya untuk mendapatkan
informasi. Wanita sering mengajukan pertanyaan tetapi untuk dua alasan, yaitu
untuk memperoleh informasi dan untuk menjaga jalinan suatu hubungan. Itulah
sebabnya wanita sering mengajukan pertanyaan yang sebetulnya jawabannya telah
mereka ketahui.
3.2 Contoh Kasus Permasalahan Gender
Kita
tentu tidak asing dengan istlah uang rokok, yaitu uang yang diberikan kepada
pekerja sebagai penghargaan atau bonus diluar gaji pokok yang biasa mereka
terima. Namun pernahkan kita mendengar istilah uang pembalut ? “Uang rokok
dengan mudahnya kita berikan pada supir yang umumnya laki-laki, tapi kenpa
tidak pernah terpikir memberikan uang pembalut pada pembantu rumah tangga kita
yang pada umumnya adalah perempuan ?” Ini adalah pendapat yang diungkapkan R.
Valentina Sagala, SE., SH., MH., seorang aktivis Jaringan Advokasi Nasional
Pekerja Rumah Tangga dalam sebuah diskudi publik mengenai nasib kaum perempuan.
Ungkapan Valentina Sagala tersebut merupakan salah satu contoh kecil adanya
ketidakadilan kedudukan antara kaum
laki-laki dan perempuan.lebih jauh lagi mengenai adanya tindakan ketidakadilan
terhadap kaum perempuan ketika kita mempelajari kedudukan perempuan sebagai tenaga
kerja dalam dunia industri. Analisis terhadap kondisi buruh perempuan erkait
pula dengan analisis terhadap kaum buruh secara kesleuruhan (laki-laki dan
perempuan). Analisis tersebut diantaranya, secara fisik bersifat jangka pendek,
seperti melihat upah minimum, diskriminalisasi upah antara buruh laki-laki dan
perempuan, kondisi kerja yang menyangkut keselamatan kerja, maupun hak untuk
berorganisasi. Hasil studi Convention Watch Program Studi Wanita Universitas
Indonesia menunjukkna bahwa berdasarkan kasus-kasus yang terungkap di berbagai
perusahaan dan industri, diskriminalisasi masih terjadi, yaitu :
1. Dalam
hal mendapatkan hak perempuan atas kesempatan kerja yang sama dengan pria,
kebebasan memilih profesi, pekerjaan, promosi, dan pelatihan.
2.
Dalam
hal mendapatkan upah yang sama terhadap pekerjaan yang sama nilainya.
3.
Dalam
menikmati hak terhadap jaminan sosial.
4.
Hak
terhadap kesehatan dan keselamatan kerja.
5.
Hak
untuk tidak diberhentikan dari pekerjaan (dan tetap mendapatkan tunjangan)
karena menikah dan melahirkan, hak akan cuti haid, cuti hamil, dan melahirkan.
Salah
satu penyebab timbulnya konflik antara tenaga kerja dan pengusaha adalah
masalah pengupahan.Bagi pekerja, upah adalah hak sebagai imbalan atas jasa dan
hasil kerja yang telah mereka kontribusikan sehingga tercapai suatu hasil akhir
berupa benda atau jasa.Sedangkan bagi penafngusaha, upah adalah komponen biaya
produksi barang dan jasa yang sedapat mungkin dapat ditekan. Pembagian kerja
menurut gender telah membawa dampak kerugian bagi tenaga kerja perempuan.
Perempuan dianggap sebagai tenaga pekerja cadangan dan pencari nafkah tambahan,
sehingga mereka dibayar lebih murah. Ironisnya lagi, terdapat suatu peraturan
yang menganggap bahwa perempuan berstatus lajang meskipun sebenarnya ia sudah
menikah. Sehingga kaum perempuan tetap mendapatkan upah rendah meskipun ia
bekerja secara produktif. Permasalahan yang tidak kalah penting dibanding masalah
pengupahan adalah tidak adanya kedudukam struktural meskipun mereka telah
bekerja bertahun-tahun di peruahaannya. Banyak diskriminasi dan pelecehan yang
terjadi seperti tidak diberikannya cuti haid, misalkan ada pun tidak dianggap
bekerja sehingga mereka tidak mendapatkan upah. Cuti hamil baru diberikan
perusahaan setelah beberapa buruh melakukan aksi protes. Upah yang tetap
dibayarkan tidak utuh melainkan hanya setengahnya. Ada pula aturan di
perusahaan yang mengharuskan tenaga kerjanya tidak boleh menikah selama tiga
tahun pertama ia bekerja di perusahaan tersebut. Wujud ketidakadilan pada
perusahaan adalah sistem manajemen yang dipegang dan didominasi oleh kaum
laki-laki, sehingga budaya patriarkhi sangat kental didalamnya.
Contoh
bentuk diskriminasi terhadap tenaga kerja perempuan dalam dunia industri adalah
kenyataan bahwa mereka terkonsentrasi pada industri padat kerja, seperti
misalnya perusahaan tekstil dan garmen dengan jam kerja panjang dan
membosankan, penuh dengan limbah industri) dan upah rendah. Dengan demikian
industri telah menciptakan sexual division of labor yang baru yaitu pekerjaan
ringan di dunia industri padat kerjayang penuh limbah dengan upah murah adalah
pekerjaan buruh perempuan. Kondisi buruh perempuan yang bekerja di pabrik
tekstil sangat buruk. Dapat dilihat dari kondisi tempat kerja, upah, jam kerja,
fasilitas yang diberikan, dan cara perekrutan pada saat penerimaan tenaga
kerja. Mereka bekerja dalam ruangan yang luas, sejuk, dan disemprot dengan
butiran air untuk menjaga kelembaban benang agar tidak putus. Ruang tersebut
penuh mesin pintal yang bunyinya sangat mengganggu urat syaraf. Buruh perempuan
menjaga dua sampai enam buah mesin tergantung dari besar dan panjangnya mesin
pintal. Mereka harus mondar-mandir sepanjang mesin yang dijaga untuk melihat
apakah ada benang yang putus dan perlu disambung.Kesehatan mereka terganggu
dengan adanya butiran-butiran kapuk yang kasat mata dan membahayakan bag
paru-paru apabila terhirup. Bahkan beberapa buruh dari daerah Karangjati
mengaku mereka tidak dapat mengeluarkan air susu mereka selama satu bulan
setelah satumelahirhan anak pertama. Hal ini disebabkan karena pada saat hamil
mereka tetap bekerja dan getaran-getaran mesin pintal mempengaruhi tidak
keluarnya air susu tersebut. Beberapa buruh melakukan pendekatan terhadap
supervisor yang lebih dari 82% diantaranya adalah kaum laki-laki, agar
pengawasan yang mereka lakukan tidak terlalu ketat hingga mengganggu kativitas
bekerja mereka.Namun hal ini justru dimanfaatkan oleh para supervisor.Bahkan mereka
melakukan pelecehan-pelecehan seksual berupa rayuan atau mencolek bagian tubuh
buruh perempuan.
Contoh
lainnya adalah buruh yang bekerja di perusahaan garmen.Berbeda dengan kaum
buruh perempuan yang bekerja di perusahaan tekstil, mereka bekerja di ruangan
yang lebih terbuka, tidak terlalu bising karena suara mesin jahit relatif lebih
lembut dibanding mesin pintal.Mereka tidak perlu berjalan mondar-mandir
mengawasi mesin, namun mereka harus bekerja empat jam nonstop dalam ritme ban
berjalan. Suasana kerja juga membosankan karena suara mesin-mesin jahit
tersebut selalu ritmenya sama.Hubungan antara buruh dan supervisornya pun jauh
lebih baik dibanding pada perusahaan tekstil karena sekitar 70% supervisornya
adalah kaum perempuan.Pelecehan yang dilakukan oleh supervisor laki-laki tetap
saja ada, hanya saja tidak terlalu parah hingga menimbulkan ketakutan yang
berlebihan.
Upaya-upaya
yang dapat dilakukan dalam rangka menghapuskan tindakan diskriminasi terhadap
kaum perempuan khususnya kaum buruh adalah :
·
Perempuan
sebagai korban diskriminasi perlu memperluas networking, mancari mentor,
percaya diri untuk mengambil kesempatan yang ada, meningkatkan skill melalui
pelatihan atau mentoring, memiliki jiwa enterpreneurship, rasa ingin tahu,
passion, keberanian, dan pikiran yang terbuka.
·
Sementara
pihak perusahaan juga harus turut serta dalam upaya ini. Aturan yang sesuai
dengan atruan formal yang ada harus ditegakkan untuk mencegah timbulnya
tindakan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan. Pemimpin perusahan
harus mampu menyadari akan pentingnya melindungi hak-hak kaum buruh Indonesia.
·
Pihak
pemerintah perlu melakukan pengawasan yang lebih konkrit dan efektif terhadap
permasalahan yang ada.Adanya aturan-aturan formal seharusnya jangan hanya
menjadi formalitas melainkan harus benar-benar dijalankan secara optimal.
Disamping itu perlu adanya sanksi yang mengikat yang diberlakukan secara tegas
dalam rangka menindaklanjuti tindakan diskriminasi dan ketidakadilan gender
yang ada. Upaya ini juga bertujuan mecegah terjadinya kembali kasus-kasus yang
serupa.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Dalam
penulisan ini dapat disimpulkan bahwa bahwa
ada hubungan positif antara perbedaan gender dalam bisnis yaitu dengan cara
berkomunikasi yang baik, maka seorang individu dapat mengetahui kekurangannya,
baik secara perbedaan biologis, perbadaan gaya prilaku, karakteristik, serta
pemahaman tentang bisnis. Masih
banyak terjadi ketimpangan gender yang terjadi pada perusahaan, hal ini
dibuktikan dengan banyak terjadinya ketimpangan upah antara buruh laki-laki dan
buruh perempuan. Karena
sering terjadi diskriminsi dalam dunia kerja, pengusaha seolah tutup mata dan
telinga tidak menerapkan segala aturan dan peraturan yang ditetapkan oleh
pemerintah, maka sangat diperlukan untuk merekonstruksi terhadap keadaan yang
ada, baik itu merekonstruksi aturan dan peraturan dan merekonstruksi pelaku
dalam hal ini pihak pesahaan untuk bisa menerapkan aturan dan peraturan yang
ada dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Khotimah,
Khusnul 2009, “Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan Dalam Sektor Pekerjaan”
Jurnal Studi Gender & Anak Vol.4 No.1
Triani,
Andina Ayu, 2011, “Pengarh Gender dan Muatan Etika Dalam Pengajaran Akuntansi
Keuangan Pada Persepsi Etika Masyarakat” Ultima Accounting Vol.3 No.1
Mardawati
Revita & Mimin Nur Aisyah, 2016, “Pengaruh Orientasi Etis, Gender, Dan
Pengetahuan Etika Terhadap Persepsi Mahasiswa Akuntansi Atas Perilaku Tidak
Etis Akuntan” Jurnal Profita Edisi 6
Poniman,
2009,”Persepsi Akuntan Pria Dan Akuntan Wanita Terhadap Etika Bisnis Dan Etika
Profesi Akuntan”JAI Vol.5 No.1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar